REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Isu cawapres yang akan mendampingi Ganjar Pranowo setelah penunjukan PDIP terus bergulir. Sekprodi Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga, Gugun El Guyanie merasa, konstitusi Indonesia agak aneh.
Pasalnya, wapres secara limitatif disebut hanya mendampingi, mewakili, menggantikan jika presiden berhalangan tetap. Jadi, wapres seharusnya pilihan presiden, bukan partai koalisi, yang mungkin agak dipaksakan.
Sebab, norma dalam konstitusi tegas menyatakan jika capres dan cawapres dipilih secara berpasangan. Makna berpasangan artinya ditentukan partai partai dari koalisi pengusungnya, bukan ditentukan presiden terpilih.
Dia merasa, ada ambivalensi jabatan wapres. Kalau disebut pendamping, pembantu presiden, mewakili presiden saat berhalangan sementara atau berhalangan tetap, artinya harus yang dikehendaki satu visi presiden.
"Idealnya presiden terpilih dulu, baru menunjuk wakil presiden, bukan dipasangkan di awal dalam pemilihan," kata Gugun, Kamis (27/4).
Pada pilpres sebelum reformasi, saat masih diserahkan ke MPR, ada beda desain dengan pilpres langsung. Era SBY-JK, di tengah muncul keretakan, banyak diskresi dari wapres yang tidak mau cuma diposisikan ban serep.
Wapres bisa mencuri panggung untuk lima tahun berikutnya membidik posisi capres. Belum lima tahun, wapres terkesan beda kebijakan dari presiden. Padahal, presiden dan wapres itu satu institusi yang tidak terpisahkan.
Maka itu, jangan sampai muncul dualisme head of government atau kepala pemerintahan yang terbelah. Walau satu kesatuan institusi kepresidenan, tapi bisa dibedakan unsurnya. Jadi, ada PR besar bagi partai koalisi.
"Idealnya partai koalisi tidak hanya berpikir soal elektabilitas dan amunisi antara capres dan cawapres saja. Tapi, juga harus berhitung apakah capres dan cawapresnya bisa bertahan lima tahun, tidak terbelah," ujar Gugun.
Potret tidak kompaknya antara kepala daerah dan wakil kepala daerah bisa jadi gambaran blokosuto (terang-terangan) yang terjadi di kepresidenan. Jika disebut sebagai pembantu presiden, seharusnya beda dari menteri.
Walau sama-sama pembantu presiden, tapi menteri lebih sempit dan wapres lebih luas, lebih strategis dan besar. Sangat mungkin partai koalisi memilih cawapres bermodal finansial, tapi tidak cocok dengan capresnya.
Bisa pula cawapresnya dari ketua umum parpol koalisi yang punya suara sangat besar, tapi gengsi besar tidak mau cuma jadi pendamping presiden. Karenanya, dia berharap, parpol tidak cuma terjebak pragmatisme politik.
"Tapi, desain lembaga kepresidenan yang menurut Ansley Wynes bukan hanya melaksanakan undang-undang, harus dipikirkan format idealnya," kata Gugun.