REPUBLIKA.CO.ID,DOHA -- Ramadhan tahun ini, komunitas Iftar di Minaretein (Masjid Kota Pendidikan) Qatar Foundation berkomitmen mempromosikan dan mencontohkan nilai-nilai moderasi. Mereka juga mengkampanyekan pemeliharaan ekologis dengan menangani tantangan limbah makanan dan menyelenggarakan Iftar tanpa limbah.
“Ramadhan adalah waktu refleksi spiritual dan peningkatan diri, kesempatan untuk terhubung kembali dengan nilai-nilai Islam yang melekat tentang moderasi dan pengelolaan ekologis (khalifa)," kata koordinator pelibatan masyarakat dan penjangkauan di Minaretein, Sulaiman Timbo Bah, dikutip Gulf Times, Kamis (27/4/2023).
Tidak hanya itu, ia menyebut Ramadhan merupakan momen untuk mengevaluasi kembali cara menjalani hidup, serta memikirkan tentang kebiasaan buruk yang ingin ditinggalkan dan kebiasaan baru yang ingin dirangkul.
Gerakan tanpa sampah atau zero waste fisebut sebagai prinsip meminimalkan produksi sampah sebanyak mungkin. Setelahnya, sampah ini diolah untuk membuat kompos, maupun menggunakan kembali atau mendaur ulang setiap sampah yang dihasilkan.
Pakar keterlibatan dan aktivasi di QF, Simon Jones, menyebut ide di balik Iftar tanpa limbah ini sejalan dengan fokus utama mereka, yaitu tidak menghasilkan limbah sejak awal.
"Untuk melakukan ini, kami mulai dengan mengurangi ukuran porsi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. ini merupakan kesuksesan besar. Hampir 100 persen orang makan seluruh porsi. Bberapa hal yang tidak dianjurkan adalah membawa pulang sisa makanan mereka," ujar dia.
Selain itu, untuk mengurangi limbah kemasan mereka menggunakan satu kotak multi-kompartemen per orang. Biasanya, setiap orang mendapat 3-4 kontainer dengan barang yang berbeda.
Untuk hidangan penutup, setiap orang mendapat satu buah utuh, seperti pisang atau jeruk. Artinya, tidak diperlukan kemasan untuk menampung buah dan tidak dibutuhkan sarung tangan untuk memotong atau mendistribusikannya.
Langkah-langkah lain yang diambil untuk mengurangi limbah termasuk menggunakan penutup meja yang dapat digunakan kembali. Penutup meja ini bisa dibersihkan dan digunakan kembali, bukan yang sekali pakai.
Selain itu, alih-alih membagikan botol air setiap hari, disediakan dispenser air dan setiap orang diberi cangkir kertas yang dapat diisi ulang sesuai kebutuhan.
“Ini mungkin terdengar seperti perubahan kecil jika dilihat secara individual. Namun, mengingat setiap harinya ada 1.200 hingga 1.500 orang yang berbuka puasa selama 30 hari, perubahan kecil ini memiliki dampak yang cukup besar,” kata Jones.
Ia pun membayangkan bagaimana jika Iftar tanpa limbah ini dapat direplikasi di semua tenda Iftar di seluruh negeri. Penghematan limbah disebut akan sangat besar.
Iftar Minaretein juga berupaya meningkatkan kesadaran tentang cara mengurangi limbah dan meningkatkan konsumsi yang bertanggung jawab. Setiap hari, sekitar 20 menit sebelum Iftar, sesi edukasi tentang keberlanjutan disampaikan dalam bahasa Inggris, Hindi/Urdu, Arab, Malayalam dan Swahili.
Mereka menyoroti pentingnya keberlanjutan dari perspektif Islam. Setiap Muslim diinformasikan bahwa setelah Iftar selesai, mereka perlu memisahkan sampah basah (sampah organik) dari sampah kering (sampah kemasan), serta membuangnya di tempat sampah yang tepat sehingga dapat dibuat kompos atau didaur ulang.
Seorang anggota komunitas yang telah menghadiri buka puasa beberapa kali, Aisha Ahmed, menyebut Islam bukan hanya seperangkat keyakinan. Ini adalah gaya hidup dan sesuatu yang ia rasa banyak dari yang belum mengenalinya.
“Secara pribadi, saya selalu memandang agama dan lingkungan sebagai dua hal yang terpisah. Namun, inisiatif seperti Iftar tanpa limbah inilah yang telah membantu saya membuat hubungan penting tersebut," ujar dia.
Sumber: