REPUBLIKA.CO.ID, LONDON – Menteri Luar Negeri Inggris James Cleverly mendesak warga Inggris di Sudan untuk segera meninggalkan negara tersebut. Dia mengungkapkan, penerbangan evakuasi masih dimungkinkan karena gencatan senjata masih diterapkan di sana.
Cleverly meminta warga Inggris di Sudan memanfaatkan penerbangan evakuasi pada Kamis (27/4/2023). "Kami tidak dapat memprediksi dengan tepat apa yang akan terjadi ketika gencatan senjata berakhir, tapi yang kami tahu adalah itu akan jauh lebih sulit, berpotensi tidak mungkin," kata Cleverly kepada Sky News saat mengomentari tentang potensi melanjutkan misi evakuasi setelah Kamis.
“Jadi yang kami katakan kepada warga negara Inggris adalah jika Anda ragu, jika Anda mempertimbangkan pilihan Anda, saran kuat kami adalah pergi. Sementara gencatan senjata sudah berjalan, ada pesawat, ada kapasitas, kami akan membawa Anda keluar. Kami tidak dapat membuat jaminan yang sama setelah gencatan senjata berakhir,” ucap Cleverly menambahkan.
Inggris telah menggunakan landasan terbang di dekat ibu kota Khartoum untuk menerbangkan warganya, tanggungan mereka, dan warga negara asing lainnya keluar dari Sudan. Mereka dibawa ke pangkalan militer Inggris di Siprus, sebelum melanjutkan perjalanan ke Inggris.
Inggris telah mengevakuasi 536 orang dalam enam penerbangan yang mulai diluncurkan pada Selasa (25/4/2023) malam lalu. Pada Kamis, Inggris merencanakan beberapa penerbangan lainnya untuk mengevakuasi warganya dari Sudan.
Saat ini negara-negara tengah berusaha mengevakuasi warganya dari Sudan. Negara tersebut diketahui tengah dibekap pertempuran yang melibatkan kubu militer dengan kelompok paramiliter bernama Rapid Support Forces (RSF). Konfrontasi antara mereka pecah pada 15 April lalu.
Militer Sudan dan RSF menyepakati gencatan senjata 72 jam yang mulai berlaku pada Selasa (25/4/2023) lalu. Kendati demikian, sejumlah warga Sudan melaporkan, serangan udara berat masih menghunjam wilayah timur ibu kota Khartoum pada Rabu (26/4/2023) lalu.
Menurut Kementerian Kesehatan Sudan, pertempuran antara militer Sudan dan kelompok RSF telah menewaskan sedikitnya 512 orang dan melukai lebih dari 4.000 lainnya. Pertempuran militer Sudan dengan kelompok RSF pecah ketika negara tersebut tengah berusaha melakukan transisi politik menuju demokrasi sipil pasca ditumbangkannya rezim mantan presiden Omar al-Bashir oleh militer pada 2019. Sebelum dilengserkan, Al-Bashir telah memerintah Sudan selama 26 tahun.