Kamis 27 Apr 2023 23:15 WIB

Dokter Sebut Perlu Perubahan Skala Besar untuk Hapus Malaria

Pendekatan 3M untuk hapus Malaria kurang sesuai namun bukan tidak dilakukan

Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Dokter Spesialis Anak dr. Inke Nadia Diniyanti Lubis menyebutkan perlu perubahaan skala besar di pedesaan untuk menghilangkan tempat indukan nyamuk Anopheles demi hapus penyakit malaria.
Foto: Republika
Dokter Spesialis Anak dr. Inke Nadia Diniyanti Lubis menyebutkan perlu perubahaan skala besar di pedesaan untuk menghilangkan tempat indukan nyamuk Anopheles demi hapus penyakit malaria.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dokter Spesialis Anak dr. Inke Nadia Diniyanti Lubis menyebutkan perlu perubahaan skala besar di pedesaan untuk menghilangkan tempat indukan nyamuk Anopheles demi hapus penyakit malaria.

"Perlu pendekatan khusus di pedesaan dengan skala besar untuk menghilangkan tempat dengan air yang tidak mengalir agar nyamuk tidak bertelur," kata Inke dalam diskusi memperingati Hari Malaria Sedunia yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis (27/4/2023).

Inke mengatakan perkembangbiakan nyamuk malaria tidak seperti nyamuk demam berdarah yang lebih menyukai tempat yang bersih dan cenderung digunakan manusia seperti ember dan sumur. Nyamuk malaria lebih suka tinggal di genangan air yang ada di alam seperti sawah atau perkebunan karet yang umumnya berada di pedesaan, ungkapnya.

"Maka pendekatan 3M (menguras, menutup, dan mengubur) yang dipakai untuk pencegahan demam berdarah kurang sesuai, tapi bukan berarti tidak dilakukan," ujar dokter yang menyelesaikan pendidikan S3 di London School of Hygiene and Tropical Medicine pada tahun 2018 lalu itu.

Selain itu, kebiasaan masyarakat desa yang suka beternak juga menjadi salah satu hal yang harus diperhatikan. Inke mengatakan kandang ternak tidak boleh terlalu dekat dengan rumah karena baunya akan memancing nyamuk Anopheles datang dan berisiko menggigit anggota keluarga yang ada di rumah.

"Jangkauan terbang nyamuk Anopheles dapat mencapai 500 meter dari tempat perkembangbiakannya," jelas Dokter yang merupakan dosen ilmu kesehatan anak di Universitas Sumatera Utara (USU) itu.

Anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Infeksi dan Penyakit Tropis Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) itu mengungkapkan pada tahun 2000 hingga 2015 jumlah penyakit malaria menurun drastis hingga 75 persen, namun setelahnya menunjukkan angka yang stagnan. Menurutnya perlu ada pendekatan lain untuk dilakukan mengingat banyak program yang sebelumnya dilakukan terkendala akibat pandemi COVID-19 sehingga terdapat kenaikan jumlah kasus malaria setelah pandemi COVID-19.

"Banyak negara yang sudah menganggap bebas dari malaria tapi nyatanya masih terdapat kasus baru karena program mengatasi malarianya tidak diteruskan," sambungnya.

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memiliki visi Indonesia Bebas Malaria pada 2030 dengan melakukan berbagai pendekatan seperti pembagian kelambu dan insektisida di desa-desa guna mencegah penyebaran penyakit malaria.

Selain itu Kemenkes juga menunjuk juru malaria desa di setiap desa di daerah endemis malaria untuk melakukan sosialisasi dan deteksi dini dalam menangani penyebaran penyakit malaria"Tidak hanya deteksi dini dan perlindungan, masyarakat juga harus menjaga diri dengan menciptakan lingkungan yang sehat," tuturnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement