REPUBLIKA.CO.ID, DAFUR -- Wilayah Sudan bagian barat, tepatnya di Darfur sudah lama identik dengan konflik, kekhawatiran akan perang saudara baru meningkat. Warga sipil telah mulai mempersenjatai diri saat mengorganisir pasukan pertahanan untuk melindungi diri dari serangan suku-suku saingan serta paramiliter Rapid Support Forces (RSF).
RSF saat ini terlibat dalam pertempuran dengan tentara Sudan. Kondisi tersebut mengakibatkan kekosongan keamanan yang sekarang dieksploitasi oleh milisi-milisi bersenjata lain.
“Situasi keamanan di Khartoum menimbulkan banyak ancaman bagi orang-orang Darfur karena tidak ada orang yang mengendalikan milisi (Arab) ini,” kata jurnalis lokal dan pemantau hak asasi manusia Ahmed Gouja dikutip dari Aljazirah.
Polisi setempat telah meminta anggota komunitas mereka untuk mempersenjatai dan membela diri. Banyak yang mengikuti seruan itu dengan menggerebek kantor polisi setempat untuk mendapatkan senjata.
“Jika kamu tidak memiliki kesempatan untuk melarikan diri, maka kamu perlu mencari senjata,” kata Gouja.
Perkembangan tersebut membuat penduduk lokal dan pengamat internasional gelisah. Beberapa orang meyakini kekerasan saat ini dapat berubah menjadi kekerasan etnis yang ditargetkan, khususnya di el-Geneina, ibu kota negara bagian Darfur Barat. Wilayah itu yang telah menjadi tempat pertempuran antara suku Arab dan non-Arab selama setahun terakhir.
Penduduk dari suku-suku non-Arab mengatakan pada Selasa (25/4/2023), suku-suku Arab telah menyerang non-Arab. Mereka membakar tempat penampungan dan kamp pemerintah untuk para pengungsi internal hingga rata dengan tanah. Warga membagikan foto serangan tersebut dan belum bisa diverifikasi.
Kantor pemerintah daerah, pasar sentral, rumah sakit, bank, dan gudang milik organisasi kemanusiaan internasional juga telah dibakar dan dijarah atau keduanya. Sekitar 96 orang dilaporkan meninggal dalam kekerasan tersebut.
Warga sipil juga bergegas mengangkat senjata di Nyala, ibu kota Darfur Selatan. Setelah pertempuran sengit antara tentara dan RSF, banyak komunitas di selatan kota khawatir RSF akan menjarah atau menguasai rumah mereka.
Prasangka ini memaksa mereka untuk meminta senjata dari tentara yang dengan rela memberikannya. “Ada banyak pelanggaran hukum dan banyak serangan terjadi, seperti pembakaran dan penjarahan,” kata peneliti Sudan untuk Human Rights Watch Mohamad Osman.
“Salah satu masalah dalam menangani situasi di Darfur adalah bahwa tidak ada [mekanisme] pemantauan [internasional], dan sekarang dengan PBB dan diplomat dievakuasi, akan lebih sulit untuk memantau situasi. Ini sesuai dengan kebutuhan untuk memiliki badan pengawas di lapangan yang aman dan terjamin," ujarnya.
Penduduk di Nyala mengatakan pertempuran di sana, tidak seperti di El Geneina, tidak mengambil karakter etnis tetapi itu bisa segera berubah. Jurnalis dari Nyala untuk sumber berita daring lokal Darfur24 Mohamad el-Fatih Yousef mengatakan, suku non-Arab di kota itu telah dibom dan dibunuh oleh tentara dan milisi Arab pada 2003.
Dua dekade kemudian, Yousef yakin tentara sedang mencoba untuk melakukan persiapan pertempuran ke beberapa komunitas non-Arab yang mencari balas dendam terhadap RSF dan pendukungnya. “Pada masa al-Bashir, tentara dan suku Arab membunuh (non-Arab) dan membuat mereka mengungsi,” kata Yousef. “Sekarang, tentara bisa berpihak pada suku [non-Arab] untuk menargetkan suku Arab," ujarnya merujuk pada mantan pemimpin otoriter Sudan Omar al-Bashir yang digulingkan pada 2019.