REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta tetap memutuskan sanksi hukuman kepada anak berkonflik dengan hukum AG usai terlibat kasus penganiayaan anak D. Aliansi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (PKTA) berpendapat putusan yang dikeluarkan oleh PT DKI Jakarta terlalu terburu-buru dan mengesampingkan prinsip peradilan yang adil.
"Putusan yang dikeluarkan oleh PT DKI Jakarta mengesampingkan berbagai prosedur pemeriksaan banding yang sejatinya perlu dilakukan untuk memastikan adanya ruang keadilan bagi para pihak yang berperkara," kata perwakilan Aliansi PKTA, Genoveva Alicia kepada Republika, Jumat (28/4/2023).
Pihak PT DKI Jakarta menyatakan berkas memori banding baik dari Penasihat Hukum AG maupun dari Penuntut Umum diterima pada 26 April 2023 sore. Aliansi mensinyalir PT DKI Jakarta hanya menggunakan waktu kurang dari 24 jam dalam mempertimbangkan dan menjalankan prosedur dalam menjatuhkan putusan banding. Aliansi PKTA mempertanyakan proses ini.
Pihak PT DKI Jakarta menyatakan hakim telah mempelajari putusan dari direktori Mahkamah Agung sejak pernyataan banding disampaikan (17 April 2023). Dinyatakan bahwa hakim tunggal tersebut mempelajari putusan pada masa cuti libur Idul Fitri.
"Alasan ini tidak dapat diterima karena terdapat prosedur yang Hakim PT DKI Jakarta baru bisa lakukan apabila berkas memori banding diterima secara resmi," ujar Genoveva.
Selain itu, Aliansi PKTA berpendapat terdapat poin-poin pertimbangan yang dikesampingkan oleh Hakim sebagai akibat penjatuhan putusan yang terburu-buru. Pertama, Hakim Banding dalam kasus AG mengabaikan kesempatan untuk mendengarkan pendapat kedua belah pihak secara seimbang. Kedua, Hakim Banding dalam kasus AG mengabaikan fakta bahwa AG juga merupakan korban tindak pidana.
"Ketiga, hakim banding kasus AG luput mempertimbangkan prinsip kepentingan terbaik bagi anak," ujar Genoveva.
Aliansi PKTA menekankan peradilan anak harus dijalankan dengan prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Meskipun salah prinsip utama peradilan adalah proses yang cepat, namun tetap dengan menekankan prinsip fair trial, substansi perkara dan seluruh berkas harus diperiksa, apalagi perkara banding, maka memori banding kedua belah pihak adalah substansial.
"Apabila praktik penjatuhan putusan yang terburu-buru dinormalisasi, maka upaya hukum banding tidak akan memberikan ruang keadilan," ucap Genoveva.
Sebelumnya, AG divonis PT DKI Jakarta tetap dihukum 3,5 tahun atau menguatkan putusan PN Jaksel. Dalam putusannya, Budi Hapsari selaku pengadil tunggal dalam sidang banding tersebut menyatakan upaya hukum yang diajukan terdakwa anak AG, pun ajuan jaksa dapat diterima. Akan tetapi dikatakan hakim tunggal tersebut, vonis dan hukuman yang sudah dijatuhkan PN Jaksel terhadap terdakwa anak AG sudah tepat.
“Menerima permintaan banding anak (AG) dan penuntut umum. Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,” kata hakim Budi saat membacakan putusan banding di PT DKI Jakarta, Kamis (27/4/2023).
Hakim tunggal di pengadilan banding tersebut, pun memerintahkan agar terdakwa anak AG tetap berada di dalam tahanan sampai menunggu status hukum tetap atau inkrah.
Terdakwa anak AG terjerat tindak pidana penganiyaan berat yang direncanakan terhadap korban anak DO. Dalam kasus tersebut pelaku utama penganiyaan belum disidangkan. Yakni tersangka Mario Dandy dan rekannya Shane Lukas.
Tersangka Mario Dandy dan Shane Lukas saat ini masih mendekam di sel tahanan kepolisian. Sedangkan terdakwa anak AG disidangkan paling awal mengingat statusnya sebagai pelaku anak-anak yang masih berusia 15 tahun.