REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Ulama sepakat mengharamkan risywah yang terkait dengan pemutusan hukum, bahkan perbuatan ini termasuk dosa besar. Sebagaimana yang telah diisyaratkan beberapa nas Alquran dan Sunnah Nabawiyah berikut ini:
وَتَرَى كَثِيرًا مِنْهُمْ يُسَارِعُونَ فِي الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ #لَوْلا يَنْهَاهُمُ الرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ عَنْ قَوْلِهِمُ الْإِثْمَ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَصْنَعُونَ
Artinya: “Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka telah kerjakan itu. Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram?. Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu. (QS Al Maidah 62—63).
Lantas apakah hadiah yang diberikan untuk seseorang bisa dianggap korupsi menurut Islam? Imam Syafii menjelaskan apa saja kriteria hadiah yang tergolong haram (risywah). Pertama, hadiah dengan maksud si pemberi hadiah itu mendapatkan haknya lebih cepat daripada wak tunya yang semestinya.
Kedua, hadiah dengan maksud bahwa si pemberinya memperoleh sesuatu yang bukan haknya.
Misalnya, seorang hakim menerima hadiah dari tergugat atau terdakwa supaya pihak-pihak yang berperkara itu dimenangkan dalam perkaranya atau dibebaskan dari tuntutan hukuman. Padahal, bukti-bukti yang ada menunjukkan sebaliknya.
Ketiga, hadiah dengan maksud bahwa pejabat yang bersangkutan mem bebaskan si pemberi dari seluruh atau sebagian kewajiban yang seharusnya ditunaikannya.
Sebagai contoh, hadiah yang diterima seorang petugas pajak dari si wajib pajak sehingga kewajiban pajaknya diperkecil. Keempat, hadiah yang dikategorikan sebagai pemerasan.
Dalam hal ini, si pemberi dipaksa melakukan penyuapan untuk mencegah dirinya dari kerugian yang akan mengancam keselamatan diri, kepentingan, orang-orang, atau hal-hal lain yang penting baginya.
Masih dalam konteks mempersoalkan risywah alias suap-menyuap, dalil yang selalu disebutkan adalah sabda Rasulullah SAW.
Baca juga: 6 Fakta Seputar Saddam Hussein yang Jarang Diketahui, Salah Satunya Anti Israel
Hadits riwayat Ahmad itu berbunyi, Allah melaknat orang yang memberi suap, menerima suap, sekaligus perantara suap yang menjadi penghubung antara keduanya.
Pada zaman beliau SAW, pernah ada kasus yang menegaskan seorang pejabat dilarang menerima suap.
Sebagaimana diriwayatkan Abi Humaid as-Sa'idy, suatu ketika Nabi Muhammad SAW mengangkat seorang laki-laki untuk menjadi amil zakat bagi bani Sulaim.
Namanya, Abdullah bin al-Latbiyah. Setelah melaksanakan tugasnya, pria itu menghadap Nabi SAW. Dia berkata, “Ini harta zakat untukmu (wahai Rasulullah SAW untuk baitulmal) dan yang ini adalah hadiah (untukku).” Rasulullah SAW pun menanggapinya:
أفلا جلس في بيت أبيه أو أمه حتى تأتيه هديته إن كان صادقً “Jika engkau benar (dalam menunaikan tugas), apakah engkau (mau) duduk di rumah ayah atau ibumu maka hadiah itu datang kepadamu?”