REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA---Uni Eropa mengusulkan perusahaan yang menggunakan alat kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) generatif, seperti ChatGPT, harus mengungkapkan materi berhak cipta apa pun yang digunakan untuk mengembangkan sistem mereka.
Hal ini diatur menurut perjanjian Uni Eropa awal yang dapat membuka jalan bagi undang-undang komprehensif pertama di dunia yang mengatur teknologi tersebut.
Komisi Eropa mulai menyusun Undang-Undang AI hampir dua tahun lalu untuk mengatur teknologi kecerdasan buatan yang baru muncul, yang mengalami ledakan investasi dan popularitas setelah peluncuran chatbot ChatGPT bertenaga AI milik OpenAI.
Anggota Parlemen Eropa setuju untuk mendorong draf tersebut ke tahap berikutnya, di mana anggota parlemen Uni Eropa dan negara anggota akan membicarakan detail akhir dari RUU tersebut.
Di bawah proposal, alat AI akan diklasifikasikan menurut tingkat risiko yang dirasakan: dari minimal hingga terbatas, tinggi, dan tidak dapat diterima. Area yang menjadi perhatian dapat mencakup pengawasan biometrik, menyebarkan informasi yang salah, atau bahasa yang diskriminatif.
Meskipun alat berisiko tinggi tidak akan dilarang, mereka yang menggunakannya harus sangat transparan dalam pengoperasiannya.
Perusahaan yang menggunakan alat AI generatif, seperti ChatGPT atau pembuat gambar Midjourney, juga harus mengungkapkan materi berhak cipta yang digunakan untuk mengembangkan sistem mereka.
"Parlemen menemukan kompromi yang solid yang akan mengatur AI secara proporsional, melindungi hak warga negara, serta mendorong inovasi dan meningkatkan ekonomi," kata Wakil Parlemen Eropa, Svenja Hahn, seperti dilaporkan Reuters.
OpenAI yang didukung Microsoft memicu kekaguman dan kecemasan di seluruh dunia saat meluncurkan ChatGPT akhir tahun lalu. Chatbot menjadi aplikasi konsumen dengan pertumbuhan tercepat dalam sejarah, mencapai 100 juta pengguna aktif bulanan dalam hitungan minggu.