REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Artefak bersejarah Stone of Destiny baru saja tiba di London, Inggris, untuk ditampilkan dalam prosesi pemahkotaan Raja Charles III. Batu seberat 125 kilogram ini didatangkan dari Skotlandia dan dianggap sebagai artefak kontroversial. Mengapa?
Stone of Destiny telah digunakan selama hampir 1.000 tahun dalam berbagai upacara penobatan raja baru Skotlandia. Menurut Lord Lyon of Scotland, Joseph Morrow, Stone of Destiny merupakan simbol kuno dari kedaulatan.
"Dalam catatan sejarah kami, (tradisi tersebut) sudah dimulai paling tidak sejak aksesi Malcolm III of Scotland tahun 1058," lanjut Morrow, seperti dikutip dari Sky, Ahad (30/4/2023).
Saat itu, Stone of Destiny diletakkan di Abbey of Scone di Skotlandia. Namun, pada 1296, Stone of Destiny dipindahkan ke gereja Westminster Abbey atas perintah Raja Edward I melalui tindakan permusuhan atau act of enmity.
Seperti dilansir Evening Standard, pemindahan inilah yang membuat Stone of Destiny dipandang kontroversial. Alasannya, Raja Edward I menyita batu bersejarah tersebut dari warga Skotlandia dan menggunakannya dalam prosesi pemahkotaan raja-raja Inggris.
Pada Hari Natal 1950, empat orang pelajar Skotlandia mengambil Stone of Destiny dari Westminster Abbey di London. Tiga bulan setelahnya, Stone of Destiny ditemukan di high altar yang terletak di Arboath Abbey, Inggris.
Pada 1996, Stone of Destiny secara resmi dikembalikan ke Skotlandia. Sosok yang berperan dalam pengembalian batu bersejarah ini ke negara asalnya adalah mendiang Ratu Elizabeth II, ibu dari Raja Charles III yang akan dinobatkan sebagai raja pada 6 Mei mendatang.
"(Stone of Destiny) itu dikembalikan ke Skotlandia pada 1996 atas perintah mendiang Yang Mulia Ratu Elizabeth II melalui tindakan persahabatan (act of amity)," ujar Marrow.