REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Aktivitas manufaktur di China secara tak terduga menyusut pada April. Adapun kondisi ini meningkatkan tekanan terhadap kebijakan yang berusaha untuk meningkatkan ekonomi pasca-Covid, di tengah permintaan global yang lemah dan pelemahan properti yang terus-menerus.
Dilansir dari laman Reuters, Senin (1/5/2023), data Biro Statistik Nasional mencatat indeks manajer pembelian manufaktur resmi (PMI) China turun menjadi 49,2 dari 51,9 pada Maret. Angka ini di bawah tanda 50 poin yang memisahkan ekspansi dan kontraksi dalam aktivitas bulanan.
Itu meleset dari ekspektasi 51,4 yang diperkirakan oleh para ekonom dalam jajak pendapat Reuters dan menandai kontraksi pertama sejak Desember, ketika PMI manufaktur resmi berada 47,0.
Negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia ini tumbuh lebih cepat dari yang diharapkan pada kuartal pertama berkat konsumsi jasa yang kuat, tetapi output pabrik tertinggal di tengah pertumbuhan global yang lemah. Harga yang melambat dan tabungan bank yang melonjak menimbulkan keraguan tentang permintaan.
Politbiro, badan pembuat keputusan tertinggi dari Partai Komunis yang berkuasa menekankan bahwa memulihkan dan memperluas permintaan adalah kunci pemulihan yang tahan lama dan memperingatkan perbaikan saat ini terutama bersifat restoratif.
“Dengan momentum yang lemah dan permintaan yang tidak mencukupi. Kurangnya permintaan pasar dan efek basis tinggi dari pemulihan manufaktur yang cepat pada kuartal pertama adalah salah satu faktor yang menyebabkan kontraksi pada April,” kata ahli statistik senior NBS, Zhao Qinghe.
Pesanan ekspor baru turun tipis menjadi 47,6 dari 50,4 pada Maret. Sektor manufaktur, yang mempekerjakan sekitar 18 persen tenaga kerja China, tetap berada di bawah tekanan karena permintaan global yang melemah.
Beberapa eksportir mengatakan kepada Reuters di pameran perdagangan terbesar negara itu bahwa mereka telah membekukan investasi dan beberapa telah memotong biaya tenaga kerja sebagai tanggapan.
Untuk meningkatkan perdagangan dan lapangan kerja, kabinet minggu lalu meluncurkan rencana, termasuk mendukung ekspor otomotif, memfasilitasi visa bagi pebisnis di luar negeri dan memberikan subsidi kepada perusahaan yang mempekerjakan lulusan perguruan tinggi.