REPUBLIKA.CO.ID, oleh Fauziah Mursid, Rizky Suryarandika, Nawir Arsyad Akbar, Dessy Suciati Saputri
Partai Demokrat kubu Moeldoko saat ini tengah mengajukan upaya Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) terkait kepengurusan partai yang saat ini dipimpinan oleh Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) itu. Menurut pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Andriadi Achmad, putusan PK dan MA nantinya akan menjadi penentu peta politik menuju Pemilu dan Pilpres 2024.
"Bola panas saat ini ada di MA yang akan memutuskan PK Moeldoko dengan mengabulkan/memenangkan atau mematahkan PK tersebut," ujar Andriadi dalam keterangannya kepada Republika, Senin (1/5/2023).
Andriadi mengatakan, jika MA mengabulkan permohonan PK tersebut, Partai Demokrat nantinya akan diambil alih oleh kepemimpinan Moeldoko. Putusan ini nantinya dengan sendirinya dapat membuat Demokrat menarik dukungan kepada Anies Baswedan sebagai bakal calon presiden (capres) dari Koalisi Perubahan.
Namun sebaliknya, jika MA menolak PK tersebut, Partai Demokrat akan tetap di bawah komando AHY dan akan tetap bersama koalisi pengusung Anies Baswedan. Diketahui, bersama Demokrat, Nasdem dan PKS adalah parpol pengusung Anies.
"Jika MA memenangkan Moeldoko cs, skenario menggagalkan dan menghancurkan Koalisi Perubahan berhasil. Akan tetapi, kita berharap MA menolak PK Moeldoko cs dan memenangkan kepemimpinan sah Partai Demokrat di bawah komando AHY," ujarnya.
"Kita tunggu saja bagaimana dinamika politik selanjutnya," katanya menambahkan.
Direktur Eksekutif Nusantara Institute Political Communication Studies and Research Centre (PolCom SRC) ini juga menilai, pengajuan PK yang dilakukan Moeldoko cs demi merebut pengurus sah partai Demokrat adalah tindakan amoral dalam politik. Menurut dia, Moeldoko yang saat ini menjabat kepala Staf Kepresidenan (KSP) semestinya tidak mempertontonkan keserakahan politik kepada masyarakat, dengan cara memperebutkan kepemimpinan sah Partai Demokrat.
"Dalam etika politik lebih terhormat Moeldoko cs mendirikan parpol sendiri dan membesarkannya," ujarnya.
Andriadi pun mencontohkan para elite politik yang memilih mendirikan parpol sendiri alih-alih merebut partai politik yang sudah ada. Di antaranya; Wiranto dengan Partai Hanura, Prabowo Subianto dengan Partai Gerindra, Surya Paloh dengan Partai Nasdem, Harry Tanoesoedibjo dengan Perindo, Anis Matta mendirikan Partai Gelora, Iqbal Said dengan partai Buruh, dan lainnya.
"Tindakan KSP Moeldoko seolah sedang melakonkan paket 'pesanan politik' untuk menyandera dan menghancurkan Partai Demokrat," ujarnya.
"KSP Moeldoko sepertinya memiliki dendam politik secara pribadi terhadap SBY yang telah melantiknya sebagai panglima TNI tahun 2013," katanya menambahkan.