REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM -- Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan pada Senin (1/5/2023), bahwa konflik di Sudan dapat memaksa 800 ribu orang meninggalkan negara itu. Ratusan orang meninggal dan ribuan lainnya terluka selama 16 hari pertempuran sejak perselisihan antara tentara Sudan dan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) meletus menjadi konflik pada 15 April.
Pejabat PBB Raouf Mazou mengatakan, badan pengungsi PBB merencanakan eksodus 815 ribu orang termasuk 580 ribu orang Sudan serta pengungsi asing yang sekarang tinggal di negara itu. Populasi negara itu berjumlah 46 juta dengan sekitar 73 ribu telah meninggalkan Sudan.
Mesir melaporkan 40 ribu orang Sudan telah melintasi perbatasan dan mereka yang melakukan perjalanan mengatakan kondisinya sulit. Sedangkan pengungsi yang lain telah pergi ke Chad, Sudan Selatan, dan Ethiopia, atau berlayar melintasi Laut Merah ke Arab Saudi dengan perahu evakuasi.
Menurut laporan Kementerian Kesehatan Sudan, sekitar 528 orang meninggal dan 4.599 terluka. PBB telah melaporkan jumlah kematian yang serupa tetapi percaya bahwa jumlah sebenarnya jauh lebih tinggi.
Krisis tersebut telah menimbulkan bencana kemanusiaan, merusak sebagian Khartoum, mempertaruhkan penarikan kekuatan regional, dan memicu kembali konflik di wilayah Darfur. Banyak yang mengkhawatirkan banyak nyawa dalam perebutan kekuasaan kedua pihak yang berbagi kendali atas pemerintah setelah kudeta 2021 tetapi berselisih karena rencana transisi ke pemerintahan sipil.
Kedua belah pihak sepakat untuk memperpanjang gencatan senjata selama 72 jam pada akhir pekan lalu. Namun kesepakatan ini pun dilanggar.
PBB mengatakan, pasukan saingan dapat mengadakan pembicaraan gencatan senjata di Arab Saudi. Namun serangan udara dan artileri terdengar pada Senin, ketika asap membubung di Khartoum dan kota-kota tetangga.
PBB dan organisasi bantuan lainnya telah menghentikan layanan, meskipun Program Pangan Dunia mengatakan akan melanjutkan operasi di daerah yang lebih aman pada Senin. Badan tersebut sebelumnya melaporkan stafnya terbunuh di awal perang.
"Skala dan kecepatan yang terjadi di Sudan belum pernah terjadi sebelumnya," kata pejabat senior PBB untuk bantuan kemanusiaan dan darurat Martin Griffiths yang akan mengunjungi Sudan.