REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menyatakan Amerika Serikat (AS) pada praktiknya belum pernah gagal bayar utang kendati per 31 Maret 2023 total tunggakan negara tersebut mencapai 31,45 triliun dolar AS.
Cukup sering fenomena terkait dengan batas utang Amerika yang kemudian memicu risiko gagal bayar. Walaupun dalam praktiknya belum pernah Amerika sampai gagal bayar. "Karena walaupun mungkin terjadi pro dan kontra, toh di ujung biasanya secara politik kenaikan plafon utang disepakati (antara pemerintah AS dengan dan DPR AS)," kata Eko dalam acara Market Review yang diadakan IDX Channel secara virtual, Jakarta, Selasa (2/5/2023).
Jika permintaan pemerintah AS untuk menaikkan plafon utang ditolak oleh DPR AS, lanjutnya, maka akan ada dampak serius terhadap aktivitas ekonomi negara tersebut yang berujung pada keadaan resesi ekonomi. Keadaan itu juga pasti memberikan efek terhadap perekonomian Indonesia mengingat AS merupakan salah satu mitra dagang terbesar.
"Sepertinya belum ada kesepakatan dari pemerintah AS dengan DPR terkait apa yang harus dilakukan. Yang satu minta plafonnya dinaikkan, batasannya dinaikkan tanpa mengurangi berbagai macam penyesuaian untuk pengetatan anggaran, tapi yang satunya mungkin menerima untuk dinaikkan, tapi kemudian minta cukup besar sekali pemotongan anggaran untuk efisiensi," ungkapnya.
Salah satu penyebab pembengkakan utang AS adalah besaran pembiayaan yang tinggi dikeluarkan untuk penanganan pandemi Covid-19, lalu berimbas terhadap perekonomian Negeri Paman Sam, dan mendorong para pemangku kepentingan negara tersebut menyepakati untuk menaikkan plafon utang pada tahun 2021.
Memasuki 2023, keadaan serupa terjadi kembali di AS kendati Produk Domestik Bruto (PDB) negara itu sudah mencapai 121 persen yang artinya masih mampu mengimbangi utang AS. "Namun, tentu saja karena ini sudah melampaui dari ambang batas yang sudah ditetapkan oleh pemerintah mereka, sehingga yang harus dilakukan adalah upaya antara untuk menurunkan atau menaikkan.
"Kalau menaikkan kembali, tentu saja secara politik mungkin, tapi mungkin juga akan menimbulkan persepsi di dalam konteks global terhadap surat utang AS sendiri karena ratingnya juga turun," kata Eko menjelaskan.