REPUBLIKA.CO.ID, UNGARAN -- Kepala Dinas Pendidikan Kebudayaan Kepemudaan dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Semarang, mewajibkan seluruh guru di wilayah Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang memakai arloji (jam tangan).
Perintah mewajibkan para guru memakai jam tangan sebagai pengingat waktu ini untuk memastikan agar para guru bisa tepat waktu dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya Sebagai pendidik.
"Dengan begitu, peserta didik di Kecamatan Suruh akan terlayani dengan baik," ungkap Kepala Disdikbudpora Kabupaten Semarang, Sukaton Purtomo saat menghadiri peringatan Hari Pendidikan Nasional di Kecamatan tingkat kabupaten Semarang, yang dipusatkan di Kecamatan Suruh, Selasa (2/5/2023).
Sukaton mengungkapkan, penerapan kewajiban guru memakai jam tangan ini diberlakukan bertepatan dengan momentum peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) dan merupakan yang pertama di Kabupaten Semarang.
Ia ingin agar kewajiban tersebut berdampak positif bagi kedisiplinan maupun terhadap pelayanan pendidikan oleh para pengajar (guru) di Kabupaten Semarang, khususnya di wilayah Kecamatan Suruh.
"Dengan memakai jam tangan ini bapak atau ibu guru akan selalu mengingat waktu dengan baik, sehingga nantinya tidak ada lagi guru yang telat untuk melaksanakan kewajibannya di sekolah," katanya menegaskan.
Hal ini, lanjut Sukaton, sekaligus untuk memberikan contoh atau teladan yang baik kepada para peserta didik tentang nilai- nila kedisiplinan, menghargai waktu serta efektif dalam menggunakan waktu.
"Maka Disdikbudpora Kabupaten Semarang pun juga akan memberi teguran jika ada guru di Kecamatan Suruh yang tidak menghargai waktu dan tidak disiplin dalam melayani peserta didik," ujarnya.
Peringatan Hari Pendidikan Nasional di Kabupaten Semarang juga dimeriahkan tari tradisional Prajuritan secara kolosal yang dibawakan oleh para siswa se-Kecamatan Suruh.
Kegiatan ini sebagai bentuk upaya melestarikan tarian prajuritan khas Kabupaten Semarang. Mereka memakai pakaian khas ‘prajuritan’ dengan properti pendukung lengkap, seperti tiruan pedang dan perisai yang terbuat dari bahan kayu.
Tari prajuritan ini berkembang di Kabupaten Semarang pada abad 18 dan merupakan warisan dari pengikut Pangeran Samber Nyawa, yang gigih menentang dan melawan kaum kolonial di masanya.
"Tarian tradisional secara kolosal yang ditampilkan setelah peserta mengikuti upacara ini merupakan wujud penerapan kurikulum merdeka, sesuai dengan kearifan lokal masing- masing," kata Sukaton.