Selasa 02 May 2023 23:59 WIB

Momentum Hardiknas 2023, Ketua Presidium KMHDI Soroti Biaya Kuliah di Indonesia

Biaya pendidikan, khususnya kuliah dinilai masih mahal.

Red: Gilang Akbar Prambadi
Ilustrasi pendidikan di perkuliahan.
Foto: www.freepik.com
Ilustrasi pendidikan di perkuliahan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Presidium PP Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI), I Putu Yoga Saputra memandang masih ada kesulitan bagi sebagian masyarakat dalam mengakses pendidikan. Menurut dia, ini akibat tidak murahnya biaya pendidikan, dan itu menjadi masalah serius ke depannya.  Ia menilai, kenaikan biaya pendidikan perguruan tinggi tidak mampu diimbangi dengan peningkatan gaji orang-orang Indonesia.

Ia mengungkapkan, dari data yang dilansirnya, rata-rata total biaya kuliah 8 semester di PTN dan PTS di tahun 2040 sebesar Rp 430 juta sedangkan penghasilan rata-rata orang tua lulusan SMA/SMK di tahun 2040 sebesar Rp 64,8 juta. 

Baca Juga

“Peningkatan biaya pendidikan ke depan tidak berjalan seiring dengan peningkatan gaji yang diterima oleh sebagian besar orang tua, terlihat dari data yang dapat diakses bahwa rata-rata kenaikan biaya pendidkkan pertahunnya sekitar 15-20 % sedangkan peningkatan penghasilan masyarakat indonesia hanya sekitar 5,3 % saja. Hal ini dapat menyebabkan para orang tua tidak mampu menutupi biaya pendidikan tinggi sang anak. Meski tidak menjamin kesuksesan seseorang, tetapi setidaknya lulusan sarjana akan menambah peluangnya untuk sukses,” kata Yoga, Selasa (2/5/2023). 

Menurut dia, sulitnya akses pendidikan akibat biaya pendidikan yang mahal tersebut bertentangan dengan semangat Indonesia hari ini untuk menjadi salah satu negara besar di tahun 2045. Harapan menjadi Indonesia Emas di tahun 2045 akan sulit terealisasi apabila negara tidak mampu menyiapkan SDM berkualitas dan berdaya saing.

“Mahalnya biaya pendidikan sehingga berdampak pada sulitnya pendidikan tersebut diakses juga berdampak pada kualitas SDM nantinya. Karena kalau kita bicara soal bonus demografi, maka kita harus mempersiapkan SDM yang mumpuni. Jangan sampai harapan bonus demografi nantinya justru berbalik menjadi beban demografi," ujarnya.

Tidak hanya biaya pendidikan, keterbatasan akses pendidikan khususnya pendidikan tinggi juga disebabkan keterbatasan bangku perkuliahan. Menurut Deputi Menteri Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Moderasi Beragama, Kemenko PMK Prof. Dr. R. Agus Sartono, MBA menyebutkan dari 3,7 juta pelajar lulusan SMA/SMK/MA, hanya sebanyak 1,8 juta yang bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya.

“Jika hanya 1,8 juta dari 3,7 juta lulusan saja yang bisa melanjutkan pendidikan, artinya masih ada sekitar 1,9 juta lulusan SMA/SMK/MA yang tidak bisa melanjutkan pendidikan dan saat bekerja harus bersaing dengan lulusan-lulusan perguruan tinggi. Tentu kondisi ini sangat mengkhawatirkan, karena dapat berdampak kepada kesejahteraan rakyat,” ungkap Yoga.

Selain semakin sulitnya pendidikan diakses, Yoga juga menerangkan bahwa lulusan-lulusan perguruan tinggi hari ini tidak mampu menjawab kebutuhan pasar. Hal ini dapat dilihat dari begitu banyaknya lulusan perguruan tinggi yang bekerja di luar disiplin ilmu yang dipelajari semasa kuliah.

Menurut Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim dalam tayangan Universitas Sumatera Utara (USU), 80 persen mahasiswa di Indonesia bekerja tidak sesuai dengan jurusan kuliahnya. Sementara berdasarkan data dari United States of America (USA) pada tahun 2010, hanya 27 persen lulusan perguruan tinggi yang memiliki pekerjaan yang sesuai dengan jurusan kuliahnya.

“Saya pikir tidak hanya tentang mahalnya biaya pendidikan saja. Persoalan pendidikan kita hari ini juga terletak pada ketidakmampuan lulusan perguruan tinggi dalam menjawab permintaan yang dibutuhkan pasar. Ya bisa kita lihat hari ini, masih banyak lulusan perguruan tinggi yang bekerja di luar disiplin ilmu yang dipelajari di masa kuliahnya," kata dia.

Berangkat dari persoalan tersebut, Yoga mengajak semua komponen untuk tidak menjadikan Hardiknas sebagai peringatan seremonial belaka. Ia berharap di momentum ini, seluruh stakeholder dapat bersama-sama merumuskan jalan keluar dari permasalahan tersebut.

"Tentu kami berharap agar Hardiknas tidak hanya sekadar seremonial belaka dan melupakan esensi utamanya. Sudah diterangkan dalam konstitusi kita bahwa memang sudah tanggung jawab negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, maka penting untuk sama-sama mencari solusi dari persoalan ini agar pendidikan kita tidak semakin jauh dari tujuan utamanya,” kata Yoga.

Sebelumnya, Mendikbud Ristek Nadiem Anwar Makarim menyatakan Hardiknas tahun 2023 harus dimaknai dengan semangat meneruskan Merdeka Belajar.

“Sebanyak 24 episode Merdeka Belajar yang telah diluncurkan Kemendikbudristek kini semakin mendekatkan pendidikan pada cita-cita luhur Ki Hadjar Dewantara,” katanya saat memimpin upacara peringatan Hardiknas 2023 di Jakarta, Selasa.

Nadiem menuturkan, selama tiga tahun terakhir sudah terdapat perubahan dalam dunia pendidikan di Indonesia berkat transformasi yang dilakukan melalui program Merdeka Belajar.

Ia menjelaskan sudah ada 24 episode Merdeka Belajar yang telah diluncurkan Kemendikbudristek selama tiga tahun dan mampu membawa dampak positif pada dunia pendidikan di Indonesia, demikian dilansir dari Antara

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement