REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif The Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad memprediksi akan terjadi perlambatan pada sektor usaha apabila Bank Sentral AS atau Federal Reserve (The Fed) memutuskan menaikkan suku bunga acuan untuk kesekian kalinya.
Naiknya suku bunga The Fed Indonesia biasanya diikuti kenaikan suku bunga Bank Indonesia (BI). Suku bunga BI biasanya akan berdampak pada suku bunga pinjaman yang nantinya akan berdampak ke masyarakat.
"Suku bunga pinjaman akan semakin mahal dan itu akan memperlambat sektor usaha untuk ekspansi," kata Tauhid, di Jakarta, Rabu (3/5/2023).
Selaras dengan Tauhid, ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet juga memproyeksikan dampak perlambatan ekonomi yang akan dialami Indonesia apabila The Fed jadi menaikkan suku bunga acuannya. Menurutnya, naiknya suku bunga The Fed berpotensi mempengaruhi BI untuk turut menaikkan suku bunga acuannya.
Namun, prediksi atas langkah BI itu dengan asumsi nilai tukar rupiah melemah drastis, tapi jika tidak, BI akan tetap menahan suku bunga acuannya saat ini. "Tentu juga BI memperhatikan tren inflasi di dalam negeri," ujar Yusuf.
Sebelumnya, The Fed pada Rabu (3/5/2023) waktu setempat diperkirakan akan mengumumkan kenaikan suku bunga pada level 25 basis poin (bps). Hal itu membuat para investor cemas tentang wacana kebijakan tersebut. Kebijakan fiskal tersebut menjadi salah satu pilihan solusi untuk menjawab AS yang terancam gagal bayar utang.
AS sebelumnya mencapai batas utang 31,4 triliun dolar AS atau setara dengan Rp 462.113 triliun pada Januari. Departemen Keuangan AS telah menggunakan uang tunai serta "tindakan luar biasa" untuk memenuhi kewajiban sejak saat itu.