REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai semakin rajin 'cawe-cawe' dalam kontestasi Pilpres 2024. Mulai dari memberikan kode-kode capres, hadir dalam deklarasi capres sampai melakukan pertemuan dengan capres tertentu.
Ketua BEM Universitas Indonesia (UI), Melki Sedek mengatakan, beberapa waktu belakangan banyak hal-hal salah yang terus saja dilakukan Presiden Jokowi dengan bangga. Ia merasa, itu jadi perlu dikritisi secara tajam.
Antara lain, kehadiran Presiden Jokowi dalam deklarasi Ganjar Pranowo sebagai capres yang diusung PDIP. Baik sebagai Presiden RI maupun kader PDIP, ia merasa, Presiden Jokowi memiliki kewajiban menjaga independensi.
"Ada hal-hal bernama independensi yang rela dikorbankan Presiden Jokowi dengan hadir di tempat itu dan menunjukkan stigma pada publik presiden selanjutnya dari partai ini, dan presiden selanjutnya idealnya beliau," kata Melki, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (3/5/2023).
Ia juga mengkritik Presiden Jokowi yang belakangan semakin rajin 'cawe-cawe' Pilpres 2024. Sebab, sesuai konstitusi, kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan undang-undang.
Termasuk, ketika memilih presiden dan wakil presiden yang merupakan orang-orang yang dicalonkan parpol atau gabungan parpol. Jadi, bukan calon yang disarankan, direkomendasikan apalagi distigma sebagai anjuran.
Melki menekankan, menjadi kesalahan jika Presiden Jokowi ikut bermain dalam kontestasi yang seharusnya memposisikan diri sebagai wasit. Artinya, ada kewajiban bagi Presiden Jokowi mampu bersifat netral dan independen.
Hal ini dapat dilihat pula dari semakin seringnya Presiden Jokowi dalam menggelar pertemuan dengan ketua-ketua umum partai politik. Selain itu, ia mengkritisi kedekatan Presiden Jokowi dengan capres-capres tertentu.
"Sepertinya tidak elok bagi seorang pemimpin negara untuk mengorbankan independensinya untuk hadir dalam forum-forum politik, yang seharusnya beliau adalah penyelenggara," ujar Melki.
Ia menyarankan Jokowi untuk mengakhiri kepemimpinan dengan baik melalui bekerja secara baik dan mengawal pemilu 2024 agar berjalan dengan baik. Jokowi bisa mengawal pelaksanaan pemilu, bukan mengawal peserta pemilu.
Melki mengingatkan, Indonesia merupakan negara demokratis, bukan negara feodal. Artinya, masyarakat ketika memilih pemimpin sekalipun didasari kedaulatan rakyat yang diejawantahkan melalui pemilu, termasuk 2024.
"Kita bukan memilih pemimpin yang hanya anjuran dari pemimpin sebelumnya atau kita tidak memilih pemimpin yang hanya melanjutkan program-program, walaupun itu penting," kata Melki.
Pakar hukum tata negara, Denny Indrayana, juga mengkritisi sikap Presiden Jokowi yang mendukung Ganjar, mencadangkan Prabowo Subianto dan menolak Anies Baswedan. Ia merasa, sikap itu bertentangan prinsip-prinsip pemilihan umum.
"Presiden Jokowi bergeser dari wasit yang bersifat imparsial menjadi wasit yang ikut bermain, menjadi pemain ke-13," kata Denny, Rabu.
Bagi Denny, Jokowi secara pribadi tentu sah memiliki hak pilih atau datang ke tempat pencoblosan memberikan suaranya. Tetapi, tidak boleh seorang presiden sudah mendukung, memberi pengaruh apalagi menjegal.
"Ini yang tidak boleh karena presiden harus jadi wasit yang netral," ujar Denny.