REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Cendikiawan dan pembaharu Islam asal Turki, Badiuzzaman Said Nursi (1877-1960) menjelaskan, tujuan dari ibadah adalah melaksanakan perintah Allah dan mendapat ridha-Nya. Karena itu, sebab yang membuat seseorang melakukan ibadah adalah perintah Ilahi, sementara hasil dari ibadah tersebut adalah menggapai ridha-Nya.
"Adapun buah dan keuntungannya bersifat ukhrawi. Hanya saja, nilai ibadah tersebut tidak hilang kalau buah dan keuntungannya sudah didapat di dunia dengan syarat hal itu bukan menjadi ilat dan tujuan utama," kata Said Nursi dalam buku Al-Lama'at terbitan Risalah Nur halaman 251.
Menurut Said Nursi, berbagai keuntungan yang diraih di dunia beserta berbagai buahnya yang diberikan tanpa diminta tidaklah menghapus nilai ibadah. Bahkan, ia berposisi sebagai perangsang bagi mereka yang lemah.
Namun, lanjut Nursi, manakala manfaat dan keuntungan dunia menjadi ilat atau bagian dari ilat seseorang melakukan ibadah, wirid, dan zikir, maka ia akan membatalkan nilai ibadah yang ada. Bahkan, wirid yang sebetulnya memiliki berbagai keistimewaan menjadi nihil tak berbuah.
Nursi mengatakan, mereka yang tidak memahami rahasia ini, ketika misalnya membaca wirid-wirid Naqsyabandiyah karya an-Naqsyabandi yang mempunyai berbagai keistimewaan atau membaca al-Jausyan al-Kabir yang memiliki seribu keutamaan, dengan tujuan untuk mendapatkan sebagian dari keuntungan duniawi tersebut, maka mereka tidak akan mendapatkan keuntungan tersebut.
Bahkan, kata Nursi, mereka tidak akan mendapatkan dan menyaksikannya. Mereka sama sekali tidak berhak atasnya. Sebab, keuntungan-keuntungan tadi tidak terwujud karena pembacaan wirid semata. Manfaat tersebut tidak bisa menjadi tujuan. Ia merupakan bentuk karunia Ilahi atas sebuah wirid yang dibaca secara ikhlas.
"Adapun jika seseorang membaca wirid tersebut dengan niat mengharap manfaat duniawi, niat itu akan merusak keikhlasannya. Bahkan ia bisa membuatnya tidak lagi bernilai ibadah sehingga nilainya jatuh," jelas Nursi.
Namun demikian, tambah Nursi, ada hal lain yang perlu dicermati, yaitu bahwa sebagian orang yang lemah selalu membutuhkan rangsangan dan dorongan. Sehingga ketika mereka membaca wirid-wirid tadi dengan ikhlas seraya mengingat keuntungan di balik wirid tersebut, hal itu tidak menjadi masalah. Ia tetap diterima.
"Karena hakikat ini tidak dipahami, banyak orang yang menjadi ragu dan bimbang ketika berbagai keuntungan duniawi seperti yang disebutkan oleh para wali qutub dan tokoh salaf tidak terwujud. Bahkan bisa jadi mereka mengingkarinya," tutupnya.