REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Seorang pejabat intelijen tertinggi Amerika Serikat (AS) pada Kamis (4/5/2023) memprediksi konflik antara militer Sudan dan Pasukan Pendukung Cepat (Rapid Support Forces) paramiliter kemungkinan besar akan berlarut-larut. Hal ini dikarenakan kedua belah pihak masih yakin bahwa mereka dapat menang secara militer dan hanya memiliki sedikit kemauan untuk berunding.
Direktur Intelijen Nasional, Avril Haines, menyampaikan penilaian intelijen AS yang suram tentang pertempuran yang meletus pada 15 April lalu, dalam kesaksiannya di hadapan Senat Komite Angkatan Bersenjata.
Penilaian tersebut membayangi upaya-upaya internasional untuk membujuk pihak-pihak yang bertikai untuk mengakhiri kekerasan, yang telah menewaskan ratusan orang. Konflik ini juga telah mendorong sekitar 100 ribu orang mengungsi ke negara-negara tetangga, dan menimbulkan momok krisis kemanusiaan yang semakin parah.
"Pertempuran di Sudan antara angkatan bersenjata Sudan dan Pasukan Pendukung Cepat, kami nilai akan berlarut-larut karena kedua belah pihak percaya bahwa mereka dapat menang secara militer dan hanya memiliki sedikit keinginan untuk datang ke meja perundingan," ujar Haines.
Dia melanjutkan, kedua belah pihak sama-sama mencari sumber dukungan eksternal, yang jika datang, kemungkinan akan mengintensifkan konflik dan menciptakan potensi yang lebih besar untuk meluasnya tantangan di wilayah tersebut.
Kekerasan yang sedang berlangsung, Haines memperingatkan, memperburuk kondisi kemanusiaan yang sudah mengerikan dan memaksa organisasi-organisasi bantuan untuk mengurangi operasi mereka di tengah meningkatnya kekhawatiran akan arus pengungsi yang masif.
PBB mendesak faksi-faksi yang bertikai untuk menjamin pengiriman bantuan yang aman setelah enam truk dijarah.
Kepala bantuan PBB Martin Griffiths mengatakan bahwa ia berharap dapat mengadakan pertemuan tatap muka dengan kedua belah pihak dalam waktu dua sampai tiga hari. Tujuannya untuk mendapatkan jaminan dari mereka untuk mengamankan konvoi bantuan.
Pertempuran sengit terdengar di pusat kota Khartoum pada hari Kamis ketika tentara berusaha mendorong mundur Pasukan Pendukung Cepat paramiliter dari daerah-daerah di sekitar istana kepresidenan dan markas besar militer. Sementara gencatan senjata yang langgeng tampaknya sulit dicapai.
Masing-masing pihak tampaknya berjuang untuk menguasai wilayah di ibu kota menjelang negosiasi yang mungkin terjadi. Meskipun begitu, para pemimpin kedua faksi telah menunjukkan, sedikit kemauan publik untuk mengadakan pembicaraan setelah lebih dari dua minggu pertempuran.