REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Islam Swasta (BKSPTIS) menyebut dosen yang diberi upah rendah harus menjadi perhatian serius. Hal ini disampaikan mengingat kesejahteraan dosen yang jauh dari layak.
"Jika ini adalah fakta sosial yang ada, maka isu ini harus mendapatkan perhatian serius. Perlu dicari solusinya yang melibatkan banyak faktor," kata Ketua BKSPTIS, Fathul Wahid kepada Republika, Jumat (5/5/2023).
Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) tersebut menekankan bahwa perlunya menemukan ukuran kesejahteraan yang layak bagi dosen. Tentunya, ujar Fathul, ukuran kesejahteraan yang layak ini tidak hanya sebatas gaji pokok.
"Tetapi juga komponen pendapatan lain yang halal dan prosedural. Juga perlu memikirkan sumbernya," ujar Fathul.
Jika sumber pendapatan dosen hanya dibebankan kepada mahasiswa dalam bentuk uang kuliah, dinilai dapat memicu masalah lain. Menurut Fathul, masih banyak faktor lainnya yang dapat menjadi solusi dalam memberikan kesejahteraan yang layak kepada dosen di perguruan tinggi.
"Masih banyak faktor lain yang terkait, seperti kapasitas negara dalam memberikan pendidikan untuk semua anak bangsa, postur anggaran perguruan tinggi untuk berkembang, dan lain-lain," jelasnya.
Seperti diketahui, hasil survei menunjukkan sebagian besar dosen mendapatkan gaji yang jauh dari kata layak. Akademisi yang juga dosen ilmu manajemen Universitas Indonesia (UI), Kanti Pertiwi, mengatakan, mayoritas gaji dosen yang dikumpulkan dari 1.300 responden berada di kisaran Rp 2 juta hingga Rp 5 juta per bulan.
Keluhan gaji rendah oleh dosen bertepatan dengan momentum Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) pada 2 Mei. Sehari sebelumnya, 1 Mei, para buruh di berbagai daerah di Tanah Air berunjuk rasa menuntut beragam hal. Salah satunya adalah upah murah yang mereka terima selama ini dan ketidakberdayaan terhadap perusahaan pemberi kerja.
"Rentang gaji yang paling banyak adalah di angka Rp 2-3 juta per bulan dan ada Rp 4-5 juta per bulan, jadi mayoritas Rp 2-5 juta per bulan. Beberapa mendapatkan penghasilan tambahan dengan menjadi pejabat struktural di kampusnya masing-masing, walaupun itu jadi persoalan tersendiri," kata Kanti pada diskusi tentang serikat dosen yang diikuti secara daring di Jakarta, kemarin.
Kanti melanjutkan, pendapatan tersebut apabila dibandingkan dengan tuntutan kualifikasi dosen yang harus menempuh pendidikan S-2 atau S-3, menghabiskan sumber daya yang tidak sedikit untuk sekolah. Beberapa dosen bahkan berhenti dari pekerjaan rutin dan ketika kembali hanya diberikan kompensasi yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka.
"Periode awal karier dosen adalah masa-masa kritis. Dengan gaji Rp 2-3 juta bergelar S-2, dan telah bekerja kurang dari tiga tahun, di usia mereka itu sedang membangun rumah tangga, ada cicilan hunian, biaya sekolah anak yang tidak sedikit, dan hanya 9 persen partisipan survei yang mendapatkan gaji di atas angka tersebut," ujarnya.