Jumat 05 May 2023 18:48 WIB

Wamenag: Agama Harus Jadi Solusi, Bukan Bagian Masalah  

Wamenag ingatkan pentingnya paham dan praktik agama lurus

Rep: Zahrotul Oktaviani / Red: Nashih Nashrullah
 Wakil Menteri Agama (Wamenag) Zainut Tauhid Saadi, ingatkan pentingnya paham dan praktik agama lurus
Foto: istimewa
Wakil Menteri Agama (Wamenag) Zainut Tauhid Saadi, ingatkan pentingnya paham dan praktik agama lurus

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Wakil Menteri Agama (Wamenag) Zainut Tauhid Sa’adi menegaskan agama harus dapat dihadirkan sebagai solusi atas beragam persoalan. Agama tidak semestinya menjadi bagian dari masalah itu sendiri. 

“Agama harus hadir menjadi problem solver, bukan bagian dari masalah itu sendiri, yang mana itu harus dimulai dari konstruksi fikih yang ramah terhadap perbedaan dan perubahan,” ucap dia dalam keterangan yang didapat Republika.co.id, Jumat (5/5/2023). 

Baca Juga

Islam hendaknya dapat menjadi penawar bagi persoalan global yang hingga kini masih membutuhkan peran nyata dari agama itu sendiri. Fikih sesuai dengan wataknya sangat terbuka lebar bagi munculnya pemahaman dan paradigma baru. 

Dengan demikian, dia menyebut diperlukan wadah yang memberikan kesempatan kepada para ahli dan para pakar, untuk menyumbangkan pemikiran brilian guna tatanan kehidupan umat manusia yang lebih baik. 

Hak ini disampaikan Wamenag saat menutup Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-22 di UIN Sunan Ampel Surabaya. Ajang diskusi para pakar keagamaan tersebut, baik dalam dan luar negeri, mengangkat tema Recontextualizing Fiqh for Equal Humanity and Sustainable Peace. 

Tema AICIS 2023 dinilai sangat tepat untuk mencoba menggali ulang terhadap ajaran-ajaran Islam dalam menghadapi tantangan kehidupan dan kemoderanan.

Meski temanya terkait dengan fikih kemanusiaan dan perdamaian yang sudah lama diwacanakan para cendekiawan sebelumnya, tetapi forum ini lebih menekankan pada upaya untuk melihat ulang atas kesesuaian konteks seiring dengan kemajuan teknologi informasi yang semakin dahsyat. 

AICIS yang diselenggarakan sejak 2-4 Mei 2023 ini telah menghasilkan beberapa pokok pikiran atau gagasan dalam bentuk rekomendasi yang disebut Surabaya Charter. Ada enam rekomendasi yang dihasilkan, yaitu: 

1. Rekontekstualisasi semua doktrin dan pemikiran keagamaan yang tidak sesuai dengan prinsip martabat manusia, kedamaian dan keadilan 

2. Menjadikan maqashid al-syariah (tujuan tertinggi hukum Islam) sebagai prinsip penuntun reformulasi fikih

Baca juga: Shaf Sholat Campur Pria Wanita di Al Zaytun, Ustadz Adi Hidayat Jelaskan Hukumnya

3. Definisi, tujuan dan ruang lingkup fikih harus didefinisikan ulang atas dasar integrasi pengetahuan Islam, ilmu sosial dan hak asasi manusia untuk mengatasi masalah kontemporer 

4. Menafsirkan ulang semua doktrin fikih yang mengkategorikan dan mendiskriminasi manusia atas dasar agama atau etnis, seperti konsep kafir dzimmy dan kafir, atau memandang selain Muslim sebagai tidak setara dan warga negara kedua 

5. Menolak penggunaan agama untuk kepentingan politik. Fenomena politik identitas, khususnya yang berbasis agama, harus ditolak keras 

6. Memelihara keberagaman dalam hidup berdampingan yang toleran dan damai yang menerapkan prinsip moderasi, kesetaraan dan keadilan beragama. 

“Hasil rumusan Surabaya Charter yang telah dideklarasikan, diharapkan menjadi dokumen akademik sebagai tawaran bagi umat Islam dan dunia dalam menghadapi dinamika kehidupan majemuk dan kompleks,” ujar Wamenag.

Tidak hanya itu, ia menyebut Surabaya Charter ini juga diharapkan dapat diterima sebagai kontribusi kampus dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta bagi dunia yang lebih berkeadilan dan bermartabat.  

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement