REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Polri mengusulkan isu tentang perdagangan orang menjadi salah satu pembahasan dalam Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN 2023 yang akan digelar di Labuhan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT) pekan ini. Polri mengingatkan hal tersebut melihat tren peningkatan kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang meningkat di negara-negara kawasan Asia Tenggara itu. Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigadir Jenderal (Brigjen) Djuhandani Puro mengatakan, di Indonesia, kasus perdagangan orang, telah membawa 1.387 warga di dalam negeri menjadi korban.
“Pascapendemi Covid-19 kasus TPPO naik sangat signifikan. Polri mendukung untuk KTT ASEAN membahas tentang pencegahan dan penanganan TPPO lintas negara ini,” begitu kata Djuhandani dalam siaran pers yang diterima wartawan di Jakarta, Jumat (5/5/2023). Dia mengatakan, dalam penanganan kasus yang dilakukan Bareskrim Polri sepanjang 2020-2023, tercatat ada 405 perkara TPPO yang sudah ditangani. Catatan kasus tersebut, termasuk dengan TPPO yang terjadi lintas negara di kawasan. Dari jumlah penanganan kasus tersebut Polri berhasil melakukan penangkapan terhadap 517 pelaku TPPO.
Pada 2020, kata Djuhandani, ada sebanyak 126 kasus yang ditangani dengan jumlah korban lebih dari 210 orang. Terdiri dari 105 korban perempuan, 35 korban anak-anak di bawah umur, dan 93 korban laki-laki. Di 2021, Polri menangani 122 kasus dengan jumlah korban kurang lebih sekitar 230-an orang, yang terdiri dari 165 korban perempuan, 74 korban anak-anak di bawah umur, dan 59 laki-laki. Pada 2022, kasus TPPO melonjak tinggi menjadi 133 kasus dengan jumlah korban yang juga turut melambung lebih 600 orang.
“Terdiri dari 336 korban perempuan, 21 korban anak-anak, dan 306 korban laki-laki,” begitu kata Djuhandani. Analisa sosial dari penanganan ratusan kasus TPPO tersebut, kata Djuhandani, peningkatan tindak pidana perdagangan orang, lantaran pencarian lapangan kerja pascapandemi Covid-19. Pencabutan pembatasan lintas negara di era pemulihan wabah Corona, membuat para pekerja yang mengalami dampak pandemi, memilih berspekulasi, atau tergiut tentang tawaran dunia kerja berupah tinggi di luar negeri.
Djuhandani mengatakan, dari ratusan kasus yang ditangani Bareskrim Polri, TPPO paling marak terjadi terkait dengan prostitusi, dan pekerja migran, serta asisten rumah tangga (ART). Namun ada jenis baru perdagangan orang dengan penawaran upah tinggi untuk dipekerjakan di bidang administrasi perusahaan. Akan tetapi, tertipu dengan dipekerjakan untuk scam online, atau penipuan melalui sambungan telefon, dan perjudian. Dari catatan Djuhandani dua negara anggota ASEAN yang rawan menjadi tujuan para korban TPPO adalah Kamboja, dan Myanmar.
“Ini adalah sindikat internasional,” begitu terang Djuhandani. Dikatakan dia, modus operandi para pelaku TPPO asal Kamboja dan Myanmar tersebut dengan mendirikan perusahaan fiktif di kedua negara tersebut. Lalu memasang iklan melalui web internet untuk menggaet minat orang-orang Indonesia agar dipekerjakan di perusahaan. “Sindikat ini memasang informasi lowongan kerja di media-media sosial seperti Facebook, atau Instagram untuk dipekerjakan sebagai operasi kasino perjudian dan lain-lainnya,” begitu terang Djuhandani.
Selanjutnya para pekerja warga Indonesia yang berminat, diberangkatkan dari Jakarta menuju ke Thailand, atau Singapura dengan pesawat terbang. Akan tetapi, para pekerja asal Indonesia itu, diterbangkan lagi ke wilayah Kamboja, dan Myanmar. Di wilayah tersebut, janji pekerjaan yang semula disampaikan melalui lowongan tak sesuai. “Para korban yang diiming-imingi gahi tinggi, ternyata di sana mendapatkan upah yang dipotong, dan dilakukan penyekapan, bahkan mengalami penyiksaan,” begitu terang Djuhandani.
Baru-baru ini, terdapat 20 WNI korban TPPO yang tertahan di Negara Bagian Myawaddy, di Myanmar dan tak bisa kembali ke Indonesia. Djuhandani menyampaikan, terkait kasus tersebut, Bareskrim Polri masih melakukan penyelidikan dan penelusuran.
Termasuk upaya menangkap para sponsor, dan pemberi fasilitas keberangkatan. Upaya memulangkan 20 WNI tersebut, dikatakan Polri, saat ini belum berhasil lantaran terkendala situasi politik dan keamanan di negara junta militer tersebut. Puluhan WNI tersebut, berada di negara bagian yang menjadi basis pemberontakan bersenjata Karen.
“Sindikat perdagangan orang saat ini, berada di wilayah konflik (Myawaddy) yang dikuasai oleh pemberontak,” begitu terang Djuhandani. Akan tetapi dikatakan dia, Polri bersama-sama Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) serta Kedutaan Indonesia di Yangon, keras mendesak pemerintahan junta militer di Naypyitaw untuk membebaskan 20 WNI tersebut. “Nota diplomatik sudah disampaikan ke Kemenlu Myanmar untuk dapat membebaskan 20 WNI korban TPPO tersebut,” begitu terang Djuhandani.