REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekjen PBB Antonio Guterres, dalam pengantar 'Laporan Global tentang Krisis Pangan' terbaru, menyebutkan bahwa kondisi kerawanan pangan di dunia saat ini merupakan dakwaan yang tajam atas kegagalan umat manusia untuk mengakhiri kelaparan.
Betapa tidak, dalam laporan yang ditulis Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) itu menyebutkan bahwa pada 2022, terdapat sekitar 258 juta orang di 58 negara yang menghadapi kerawanan pangan akut pada tingkat krisis atau tingkat yang lebih buruk.
Angka tersebut juga dilaporkan meningkat dari setahun sebelumnya yang tercatat sebanyak 193 juta orang di 53 negara. Bahkan, laporan dari FAO tersebut juga menyebutkan bahwa jumlah kerawanan pangan akut meningkat selama empat tahun berturut-turut.
Dalam laporan yang diluncurkan pada 3 Mei 2023 tersebut, Guterres menilai bahwa adanya kondisi lebih dari seperempat miliar orang pada saat ini menghadapi tingkat kelaparan akut, dan beberapa berada di ambang kelaparan, merupakan hal yang "tidak masuk akal".
Berdasarkan informasi dari situs resminya, FAO telah mulai memberikan laporan mengenai kondisi kelaparan di dunia sejak tahun 1974, atau hampir setengah abad yang lalu. Sedangkan sesuai dengan sejumlah mandatnya, FAO berupaya untuk mengentaskan kelaparan, kerawanan pangan dan semua bentuk malnutrisi di berbagai belahan penjuru dunia.
Kelaparan itu sendiri diberikan makna, masih menurut situs resmi FAO, sebagai sensasi fisik yang tidak nyaman atau menyakitkan yang disebabkan konsumsi energi makanan yang tidak memadai.
Sedangkan kerawanan pangan adalah kondisi yang dialami seseorang bila dia tidak memiliki akses rutin kepada pangan yang aman dan bergizi bagi pertumbuhan dan perkembangan normal serta menjalani kehidupan yang aktif dan sehat.
Kaitan antara kelaparan dan kerawanan pangan adalah bila seseorang dalam kondisi kerawanan pangan parah, maka dia dapat kehabisan makanan atau menjalani satu atau beberapa hari tanpa makan. Dengan kata lain, orang tersebut kemungkinan besar akan mengalami kelaparan.
Dalam laporannya, FAO mengatakan bahwa guncangan ekonomi melampaui konflik sebagai pendorong global utama di balik kerawanan pangan dan malnutrisi yang parah, serta cuaca ekstrem juga pendorong utama lainnya dalam kerawanan pangan global.
Laporan itu mengemukakan bahwa "guncangan ekonomi global kumulatif" berkontribusi terhadap ketahanan pangan, termasuk kenaikan harga pangan dan gangguan di pasar.
Dampak ketahanan pangan
Meski demikian, FAO menemukan bahwa konflik yang sedang berlangsung antara Rusia dan Ukraina menimbulkan dampak yang parah terhadap ketahanan pangan global, sebagian karena kontribusi signifikan yang secara tradisional diberikan oleh kedua negara tersebut terhadap produksi komoditas pangan utama, termasuk gandum, jagung, dan minyak bunga matahari.
Konflik antara Rusia dan Ukraina memang tidak dipungkiri telah berkontribusi terhadap potensi terjadinya kerawanan pangan global.
Menurut data dari Bank Dunia, baik Ukraina maupun Rusia menghasilkan sekitar dari 29 persen gandum di dunia, serta menghasilkan 62 persen produksi internasional dari minyak biji bunga matahari.
Oleh karena itu, invasi yang dilakukan Rusia ke Ukraina akan memacu inflasi pangan di sejumlah perekonomian negara-negara berkembang serta sangat berdampak kepada negara-negara miskin dan rentan.
Padahal, serangan yang dilakukan Rusia sejak Februari 2022 itu hingga kini belum menunjukkan tanda-tanda berakhir, bahkan ada potensi akan berkepanjangan dengan rencana serangan balik yang akan dilakukan oleh pihak Ukraina dalam waktu dekat ini.
Menurut organisasi Program Pangan Dunia PBB (WFP) dalam situs resminya, konflik tetap menjadi pendorong utama kelaparan dalam kebanyakan krisis pangan di dunia. Hal ini karena bentuk konflik bersenjata hingga kerusuhan warga dapat melemahkan tingkat keamanan pangan dan nutrisi.
Laman WFP Amerika Serikat menyebutkan bahwa ketika kejadian konflik dan kekerasan muncul, maka dampak yang akan terjadi antara lain adalah hancurnya infrastruktur, berhentinya proses perdagangan (seperti impor pangan), meningkatkan inflasi, menurunkan nilai mata uang, hingga dapat menghilangkan lapangan pekerjaan.
Semua faktor yang telah disebutkan tadi merupakan hal-hal yang dapat membuat penduduk di mana pun di penjuru dunia akan semakin kesukaran untuk menemukan pangan. Dengan kata lain, tindakan mengatasi kelaparan dapat dipastikan tidak bisa diatasi tanpa adanya kondisi stabilitas sosial-politik di dalam suatu daerah atau negara.
Untuk itulah, sejumlah organisasi seperti WFP juga bertekad untuk berperan dalam membangun jalan menuju perdamaian, karena konflik berkontribusi kepada meningkatnya kelaparan.