REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) Muhammad Nur Rizal, menyoroti soal keseriusan pemerintah dalam mengatur karier dosen. Menurutnya ada ketidakadilan dalam menentukan besaran insentif dosen selama ini. Ia mencontohkan, bahwa insentif penulisan jurnal lebih besar ketimbang insentif untuk pengajaran dan pengabdian masyarakat.
Padahal menurut Rizal ada sejumlah dosen yang peminatannya lebih senang di pengabdian masyarakat. Namun pemerintah lebih menyediakan insentif bagi dosen yang melakukan penelitian berbasis jurnal.
"Sehingga penelitian-penelitian yang tidak menghasilkan jurnal, padahal dia bisa menghasilkan produk atau pemikiran yang berdampak bagi masyarakat luas, kalau tidak dijurnalkan itu nggak dapat insentif," kata Rizal kepada Republika, Jumat (5/5/2023).
Menurutnya hal tersebut mengakibatkan peminatan dosen diseragamkan. Sehingga karier dosen hanya seperti tenaga kerja industri yang menghasilkan artikel jurnal. "Ini yang harusnya coba disusun ulang oleh pemerintah," ujarnya.
Selain itu hal lain yang juga penting yaitu menciptakan ekosistem anggaran untuk mendorong dosen melakukan Tri Dharma Perguruan tinggi secara optimal. Termasuk mampu menarik anggaran dari sektor swasta.
"Misal karena kualitas pengajaran dan penelitiannya baik, maka output siswanya bisa diterima di perusahaan multinasional. atau hasil risetnya bisa dipakai oleh perusahaan multinasional sehingga ada anggaran dari swasta untuk bisa meningkatkan ekosistem yang ada di kampus itu," kata Rizal yang juga merupakan dosen di Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut.
Oleh karena itu, Rizal tidak yakin dengan menaikan gaji dosen otomatis ikut meningkatkan kualitas pendidikan. Menurutnya ketika kultur untuk membangun Tri Dharma Perguruan Tinggi yang fair dan berkualitas belum terbentuk, maka menaikan gaji dinilai tidak akan menyelesaikan persoalan.
"Kenapa? Kemenkeu Sri Mulyani ketika menjadi Menteri Keuangan dia menaikkan gaji dan insentif para ASN Kemenkeu termasuk pajak, tapi yang jadi koruptor pajak, menyelundupkan pajak ini kan juga gede. Kata Pak Mahfud Rp 340-an Triliun padahal gaji mereka (ASN Kemenkeu) jauh melebihi ASN lainnya," ujar alumnus Monash University, Australia, tersebut.
"Persoalannya apakah kultur di Kemenkeu yang tidak koruptif itu akan terkikis, nggak juga. Rp 340 T korup, jadi saya nggak percaya meningkatkan gaji otomatis meningkatkan kualitas SDM, meningkatkan kualitas perguruan tinggi atau sekolah, nggak percaya kalau hanya gaji," imbuhnya.