Ahad 07 May 2023 23:55 WIB

Besarnya Dampak TPPO dalam Kasus Online Scam

Kasus online scams ini sudah menjadi masalah regional

Korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) atau trafficking berhasil dipulangkan ke Kabupaten Indramayu. Kasus online scams ini sudah menjadi masalah regional dengan korban berasal dari berbagai negara.
Foto: Republika/Lilis Sri Handayani
Korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) atau trafficking berhasil dipulangkan ke Kabupaten Indramayu. Kasus online scams ini sudah menjadi masalah regional dengan korban berasal dari berbagai negara.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menyoroti besarnya dampak tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dalam kasus penipuan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (online scam) di kawasan Asia Tenggara.

Maraknya perdagangan orang berkedok online scam dibuktikan dengan 1.841 kasus yang telah diselesaikan pemerintah Indonesia dalam tiga tahun terakhir.

"Saya ingin memberikan highlight bahwa kasus online scams ini sudah menjadi masalah regional dengan korban berasal dari berbagai negara. Untuk korban Indonesia, tercatat berada di Myanmar, Kamboja, Thailand, Vietnam, Laos, dan Filipina," kata Retno dalam pengarahan pers di Jakarta, Jumat (5/5/2023)

Saat ini, ujar dia, pemerintah sedang mengupayakan pelindungan terhadap warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi korban perdagangan manusia yang dipekerjakan di perusahaan online scams di Myawaddy, Myanmar.

Pemerintah memberi perhatian besar terhadap penanganan kasus ini mengingat Myawaddy, yang terletak 415 km dari Yangon, merupakan wilayah konflik di mana otoritas pusat Naypydaw tidak memiliki kontrol penuh.

Karena itu, Indonesia terus melakukan komunikasi, baik dengan otoritas di Naypydaw, otoritas di Thailand, otoritas lokal di Myawaddy, dan juga dengan organisasi-organisasi lain seperti Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) dan Regional Support Office dari Bali Process yang ada di Bangkok.

"Jadi kita melakukan komunikasi dengan banyak sekali pihak dengan tujuan memberikan pelindungan kepada WNI dan kemudian dapat mengeluarkan WNI dari wilayah tersebut dengan selamat," tutur Retno.

Selain Myanmar, pemerintah melalui KBRI Manila telah bekerja dengan otoritas penegak hukum Filipina serta perwakilan negara asing dalam operasi penyelamatan korban online scam.

Operasi tersebut berhasil menyelamatkan total 1.048 orang yang berasal dari 10 negara, termasuk dari Indonesia.

"Korban WNI yang berhasil diselamatkan berjumlah 143 orang. KBRI Manila saat ini sedang melakukan pendataan dan akan memfasilitasi repatriasi para korban ke Indonesia," kata Retno.

"Sekali lagi angka dan apa yang sampaikan mengenai operasi di Manila ini menunjukkan besarnya magnitude dari tindakan kriminal perdagangan manusia yang korbannya adalah warga negara ASEAN," ujar dia, menambahkan.

Sambil terus menangani masalah di hilir, Menlu Retno menegaskan kembali pentingnya pembenahan masalah sejak dari hulu.

Menurut dia, diseminasi informasi mengenai praktik perdagangan manusia berkedok online scamperlu terus dilakukan sampai ke tingkat daerah, bahkan tingkat desa.

"Law enforcement harus betul-betul ditegakkan. Jika tidak dilakukan pembenahan di hulu, maka korban akan semakin banyak dari hari ke hari," tutur dia.

Merespons semakin banyaknya korban perdagangan manusia melalui online scam, Indonesia sebagai ketua Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) berupaya mengangkat isu ini dalam KTT ke-42 ASEAN pada 9-11 Mei mendatang.

Penguatan upaya penanggulangan TPPO akan dibahas dalam sesi pleno KTT ASEAN yang akan dipimpin oleh Presiden Joko Widodo.

"Inisiatif Indonesia sebagai wujud upaya regional dalam penanganan TPPO akan dibahas dan dituangkan dalam ASEAN Leaders Declaration on Combating TIP Caused by Abuse of Technology," kata Juru Bicara Kemlu RI Teuku Faizasyah.

Kompleksnya permasalahan TPPO, kata dia, memerlukan upaya penanganan regional secara kolektif mulai dari tahap deteksi, pencegahan, perlindungan, pemulangan, rehabilitasi, dan mengatasi akar permasalahan.

Untuk itu, Faizasyah mengatakan bahwa kapasitas para penegak hukum negara anggota ASEAN perlu diperkuat dalam melakukan investigasi, pengumpulan bukti, identifikasi korban, dan prosekusi.

Diperlukan juga penguatan kerja sama untuk pencegahan, rehabilitasi, serta reintegrasi para korban, kata dia.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement