REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Pendapat yang populer di kalangan para ulama Madzhab Maliki adalah bahwa menutup aurat merupakan salah satu sunnah dalam sholat. Sedangkan ulama madzhab yang lain berpendapat bahwa menutup aurat dalam sholat adalah fardhu alias wajib.
Dalam hal batasan aurat dalam sholat, perempuan dengan laki-laki berbeda batasannya. Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid menjelaskan bahwa menurut Imam Malik dan Imam Syafii, batas aurat laki-laki adalah antara pusar sampai lutut.
Namun ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa batas aurat laki-laki adalah dubur dan alat kelamin saja (ini versi pendapat dari Imam Ahmad dan Imam Malik. Juga pendapat Ibnu Abu Dzib dan Dawud). Adapun untuk perempuan, sebagian besar ulama berpendapat sekujur tubuh perempuan adalah aurat, selain wajah dan sepasang telapak tangan,.
Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, telapak kaki wanita bukan aurat. Sementara menurut Imam Ahmad, seluruh tubuh wanita adalah aurat. Adapun mengenai pakaian sholat, Allah SWT berfirman dalam Alquran Surah Al A'raf ayat 31, “Ya bani-adaa hudzuu zinatakum inda kulli masjidin,”. Yang artinya, “Wahai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid,”.
Lantas bagaimana pakaian sholat yang ideal untuk perempuan? Ibnu Rusyd menjelaskan, para ulama sepakat bahwa pakaian perempuan yang dianggap memadai untuk sholat ialah baju kurung (dar') dan kerudung (khimar).
Hal tersebut berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Ummu Salamah, sesungguhnya ia bertanya kepada Rasulullah SAW, “Apa yang dikenakan shalat oleh seorang perempuan?”. Nabi bersabda, “Kerudung dan baju kurung longgar yang dapat menutupi bagian punggung telapak kakinya,”.
Dan juga berdasarkan riwayat hadits dari Sayyidah Aisyah, dari Nabi Muhammad SAW, sesungguhnya beliau bersabda, “La yaqbalullahu shalata haa-idhi illa bikhimaarin,”. Yang artinya, “Allah tidak berkenan menerima sholat seorang wanita kecuali dengan mengenakan kerudung,”.
Diriwayatkan bahwa Sayyidah Aisyah, Maimunah, dan Ummu Salamah juga memberikan fatwa seperti itu. Mayoritas ulama mengatakan bahwa jika seorang wanita sholat tanpa kerudung, ia harus mengulang sholatnya waktu itu dan sesudahnya.
Kecuali Imam Malik yang mengatakan bahwa ia hanya wajib mengulangi sholatnya pada waktu itu saja. Menurut mereka, seorang budak perempuan boleh sholat dalam keadaan kepala dan telapak kakinya terbuka.
Tetapi Hasan Al Bashri mewajibkan ia mengenakan kerudung. Sementara Atha' hanya menganjurkannya. Adapun penyebab timbulnya perselisihan pendapat berpangkal pada pertanyaan, apakah suatu khitab (pesan Illahi) yang ditujukan kepada salah satu jenis itu mencakup orang-orang yang berstatus merdeka sekaligus orang-orang yang berstatus budak? Atau hanya mencakup budak-budak secara bersama-sama.
Penyebab perselisihan mereka dalam masalah ini ialah, apakah sesutu yang dilarang secara mutlak untuk dijauhi itu merupakan syarat sahnya shalat atau tidak? Bagi para ulama yang menganggap itu syarat, mereka berpendapat bahwa tidak boleh hukumnya shalat dengan memakai pakaian yang terbuat dari sutra.
Sementara bagi ulama-ulama yang menganggap memakai pakaian sutra itu berdosa dan sholatnya tetap sah, mereka mengatakan bahwa hal itu bukan merupakan syarat sahnya sholat, sebagaimana bersuci yang merupakan syarat. Masalah ini sama seperti masalah tentang seseorang yang sholat di rumah yang disita, dan perselisihan pendapat tentang masalah ini cukup terkenal.