REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dunia pendidikan sejatinya dapat menjadi ruang bermain dan belajar yang kondusif untuk proses transformasi ilmu pengetahuan, pendewasaan, dan persemaian sikap toleran. Kecenderungan meningkatnya sikap intoleransi dan segregatif di kalangan generasi muda tidak lepas dari peran dunia pendidikan.
Momentum Hari Pendidikan Nasional pada 2 Mei lalu menjadi pemantik bagi pegiat pendidikan, maupun stakeholder terkait untuk mendesain dunia pendidikan yang merdeka dari intoleransi. Sebab, kristalisasi intoleransi akan mewujud pada sikap ekstrem yang berujung pada kekerasan, dan dapat memecah belah bangsa.
Peneliti Senior di Pusat Pengkajian dan Masyarakat Islam (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Didin Syafruddin mengungkapkan, yang menjadi penyebab tumbuhnya intoleransi dalam dunia pendidikan adalah kurangnya interaksi dan dialog antar siswa dari berbagai latar belakang perbedaan. Akibatnya antara siswa yang memiliki perbedaan, dikhawatirkan memiliki prasangka negatif dan masih canggung dalam menghadapi perbedaan.
"Lembaga pendidikan harus menjadi teladan dalam mempraktikkan pendidikan kemanusiaan dan budi pekerti. Pendidikan kemanusiaan yang efektif dalam mengubah perilaku ialah dengan menjadikan lembaga pendidikan itu sendiri sebagai teladan mempraktikkan pendidikan kemanusiaan," ujar Didin dalam siaran pers, Senin (8/5/2023).
Tidak hanya dalam proses belajar mengajar di dalam kelas, lanjut Didin, melainkan setiap unsur yang terlibat di dalam lingkungan sekolah, seperti kepala sekolah, guru, petugas keamanan, petugas kebersihan, petugas kantin baik laki maupun perempuan harus saling memuliakan satu sama lain. Semua memperlakukan semua setara dan adil apa pun agama, suku, status ekonomi, warna kulit, dan lainnya. Siswa harus ditanamkan pemikiran yang kritis serta memparktikkan demokrasi.
"Pendidikan budi pekerti masih kurang karena pelaksanaannya masih melalui ceramah atau pengajaran. Padahal pendidikan budi pekerti memerlukan diskusi dan dialog terbuka kritis, pembiasaan, keteladanan, dan konsensus bersama melalui proses demokratis," kata Didin.
Kasus AP Hasanuddin (APH), peneliti yang diduga melakukan ujaran kebencian terhadap warga Muhammadiyah ini menunjukkan keterpelajaran melalui pendidikan formal tidak menjamin seseorang memiliki literasi kemajemukan intra dan antar agama dengan baik. Meskipun APH lekat dengan dunia ilmu pengetahuan, akademisi dan literasi yang baik, namun dirinya memiliki pemahaman intoleran dan cenderung mengandung kekerasan. Untuk itu perlu menyelaraskan antar keilmuan, pendidikan budi pekerti dan nasionalisme untuk menumbuhkan rasa persatuan antar anak bangsa.
"Kasus APH mengingatkan bahwa lembaga pendidikan harus menanamkan sikap ilmiah, sikap rasional, sikap objektif sehingga dalam berpendapat dan bersikap selalu berlandaskan data yang kuat dan mengurangi prasangka dalam menilai kelompok agama atau pihak pihak lain," kata Didin yang mendapatkan gelar PhD di bidang Kajian Nilai dan Kebudayaan dalam Pendidikan dari McGill University, Montreal, Kanada.
Untuk itu, Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini berpendapat pemerintah harus mendorong lembaga pendidikan dengan latar belakang homogen, untuk bergaul, berjumpa, dan berinteraksi dengan kelompok yang berbeda.
Didin berharap pendidikan mampu menjadi institusi penting untuk mencetak peserta didik menjadi manusia dan anggota masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai universal kebaikan yang berpijak pada kemanusiaan.
"Penting terus menerus menekankan bahwa Indonesia bukan negara NU, bukan negara Muhammadiyah, bukan negara salafi dan bukan negara berdasar paham agama lainnya. Lembaga (pendidikan) harus mempraktikkan dan menegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang bersendikan kemuliaan setiap orang atau setiap warga negara," tutup Didin.