REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida bertemu anggota parlemen dan pengusaha Korea Selatan (Korsel) di Seoul. Sebelum menutup kunjungan pertama pemimpin Jepang ke Korsel dalam 12 tahun, Kishida membahas potensi kerja sama bilateral.
Kementerian Luar Negeri Jepang mengatakan pertemuan itu membahas membangun rantai pasokan yang kuat dan mempromosikan kerjasama industri teknologi canggih. Kementerian menambahkan Kishida dan pemimpin berbagai kelompok bisnis berharap pertemuan akan memperkuat hubungan ekonomi dua negara.
"Saya ingin memperkuat hubungan yang saya miliki dengan (Presiden Korsel) Yoon dan bergabung dengannya untuk menempa era baru," kata Kishida pada wartawan di Seoul usai bertemu anggota parlemen Korsel di hotelnya, Senin (8/5/2023).
Pada Ahad (7/5/2023) kemarin Kishida mengatakan "hatinya sakit" ketika memikirkan penderitaan rakyat Korea selama penjajahan Jepang. Pernyataan ini dianggap sebagai isyarat pada perselisihan historis yang merusak hubungan dua sekutu AS tapi gagal menawarkan permintaan maaf baru.
Kishida berkunjung ke Seoul untuk membalas kunjungan Presiden Yoon ke Tokyo bulan Maret lalu. Kedua negara hendak menutup perselisihan historis yang mendominasi hubungan Korsel-Jepang selama puluhan tahun.
Sebelum berangkat, Kishida mengatakan ia berharap dapat "berdiskusi dengan terbuka berdasarkan hubungan saling percaya" dengan Yoon. Sementara di dalam negeri Yoon dikritik karena upaya memperbaiki hubungan dengan Jepang termasuk mengusulkan agar perusahaan Korsel bukan Jepang yang membayar kompensasi kerja paksa selama penjajahan Jepang di Semenanjung Korea dari 1910 sampai 1945.
Pemerintah Korsel berharap Kishida akan memberikan gestur baik untuk membalasnya dan menawarkan sejumlah dukungan politik. Meski sedikit pengamat yang menilai Jepang akan menyampaikan permohonan maaf resmi. Yoon sendiri telah memberi sinyal ia tidak yakin hal tersebut perlu dilakukan.
Profesor hubungan internasional Korea University Shin-wha Lee mengatakan fokus pertemuan ini tampaknya pada kerja sama pertahanan dalam menghadapi ancaman nuklir Korut.
"Dengan kerangka kerja 'Deklarasi Washington' yang menguraikan rencana untuk memperkuat pencegahaan, Korea akan mengeksplorasi cara untuk memperkuat upaya kolaborasi dengan Jepang," katanya.
"Kami memiliki banyak kesempatan untuk bekerja sama dalam upaya mengatasi ancaman Korea Utara dan keamanan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka," kata Kementerian Luar Negeri Jepang.
Ketegangan antara Washington dan Beijing terjadi ketika Cina semakin menegaskan klaimnya terhadap Taiwan dan di Laut Cina Selatan. Sementara Amerika Serikat (AS) menopang sekutu-sekutunya di seluruh Asia-Pasifik.
Perbedaan historis antara Korsel dan Jepang mengancam akan membayangi upaya pemimpin kedua negara memperkuat hubungan. Sebagian besar rakyat Korsel yakin Jepang belum meminta maaf dengan benar atas kekejiannya selama penjajahan.
"Mereka pikir Perdana Menteri Kishida harus menunjukkan ketulusan selama kunjungannya ke Korea Selatan, seperti menyinggung masalah historis dan menyampaikan permintaan maaf," kata Profesor Lee.
Di sisi yang lain, mantan Asisten Menteri Luar Negeri AS untuk wilayah Asia Timur dan Pasifik Daniel Russel mengatakan Jepang bergerak lamban. "Kishida berhati-hati untuk tidak terlalu cepat dari izin politik domestiknya," kata Russel.
Ia mengatakan Jepang masih berhati-hati karena pemerintah Korsel sebelumnya mencabut dengan sepihak penyelesaian masalah 'perempuan penghibur' di masa penjajahan. Pada tahun 2015 lalu Korsel dan Jepang mencapai kesepakatan dengan permintaan maaf dari Tokyo atas 'perempuan penghibur' yang diperbudak selama penjajahan.
Saat itu Jepang memberikan anggaran sebesar 1 miliar yen atau 9,23 juta dolar AS untuk membantu para korban. Pada tahun 2018 mantan Presiden Korsel Moon Jae-in memutuskan untuk membubarkan anggaran itu dengan alasan anggaran itu tidak cukup mempertimbangkan kekhawatiran para korban.
"(Korsel) merupakan tetangga penting yang harus kami ajak kerja sama di berbagai masalah global," kata Kementerian Luar Negeri Jepang.