REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seorang anak transmigran tahun 1970-an asal Rumbia, Lampung, Mujiono, mengatakan, perbaikan jalan rusak tempatnya masih sebagian kecil saja. Jadi, perbaikan yang ada masih sebagian dan bersikap sementara karena diuruk batu split saja.
“Perbaikan jalan masih di sekitar kecamatan Rumbia ke arah kecamatan Gaya Baru. Itu pun dipilih yang paling parah. Yang lainnya masih biasa. Dan memang kerusakan jalan ini sudah ada tiga tahunan. Padahal dahulu pada zaman Orde Baru ruas jalan ini selalu bagus dan mulus. Jalan tersebut ada proyek tambak udang di mana truk-truk besar hilir mudik. Selain itu, juga karena di sana juga ada pabrik singkong yang sekali muat truk bermuatan sampai delapan ton, bahkan lebih,’’ kata Mujiono di Jakarta pada Rabu pagi (10/5/2023). Dia menceritakan soal jalan tersebut seusai mudik Lebaran dari kampungnya sesuai pada dua hari lalu (8/5/2023).
Sampai kini masyarakat kampungnya masih kecewa terhadap kondisi tersebut. Arus lintas masih susah. Mobil yang melintas masih merayap. Motor kalau lewat jalan itu masih lewat pinggir jalan. "Bahkan kemarin saya sempat terjatuh dari motor gara-gara lobang-lobang jalan itu."
"Yang memviralkan soal jalan itu memang anak tetangga kampung kecamatan saya. Apa yang dikatakan memang benar. Jalan itu sudah kondisinya dalam waktu bertahun. Malahan kerusakan jalan dipakai warga sekitarnya untuk mencari sumbangan karena dia merasa ikut memperbaiki jalan kondisi dengan mengasih batu-batuan untuk menguruk lobang. Mereka kan mengeluarkan biaya, maka setelah mereka perbaiki ganti mereka pada kendaraan yang lewat. Jadi, mereka minta balas jasa karena secara mandiri memperbaiki jalan," katanya lagi.
Menurut Mujiono, wilayah sekitar Rumbia pertama kali dibuka untuk permukiman dan pertanian pada 1970-an sebagai program transmigrasi. Permukiman dan pemakaian lahan di sana semakin masif pada 1970-an. Kala itu wilayah tersebut menerima kedatangan para pendatang dari Jawa dalam program transmigrasi swakarsa. Mereka kala itu datang ke wilayah itu dalam rangka mencari tanah yang lebar.
"Ayah kami dari Yogyakarta. Waktu itu beliau secara personal pergi ke sini mencari lahan karena dia tidak punya tanah lagi. Orang kini di wilayah itu kebanyakan dari wilayah Solo dan Yogyakarta. Kami tinggal di sana sejak meletusnya peristwa G-30-S PKI pada 1965. Kala itu saya datang ke sini sekitar umur enam tahun," kata Mujiono.
Harapannya ke depan, Mujiono melanjutkan, jalanan di wilayah kampungnya itu segera diperbaiki. Masyarakat selama ini sudah sangat sengsara. Apalagi jalan dipakai sebagai sarana jual beli kebutuhan dan komoditas warganya yang sebagian besar merupakan petani.
"Otomatis kalau jalanan bagus maka usahanya akan lancar dan enak. Selama ini dari pada naik motor atau mobil warga lebih enak jalan kaki ketika melintasi jalan itu. Bila pengin ke tempat saudara, misalnya, bila membayangkan kondisi jalan yang ada langsung malas. Karena perjalanan akan menyiksa dan capai. Kalau yang ledih lagi, bisa meninggal di jalan karena guncangan mobil yang melintasi lobang yang cukup dalam. Kalau musim hujan jalanan sudah seperti sawah yang siap tanam," ujarnya.
"Sewaktu Pak Jokowi saya bersama lainnya sengaja menjemputnya di lapangan Rumbia. Tapi, kecewa Pak Jokowi ternyata tak sampai sana. Padahal untuk mencapai lapangan kami kampung yang berjarak dua kilometer menempuh sekitar satu jam dengan naik motor yang melintasi jalan yang penuh berbagai lobang. Dan sampai Pak Jokowi pulang hingga kini belum ada tanda kelanjutan perbaikan jalan. Mobil sampai hari ini menghindari jalan itu dengan cara melawi jalanan di gang-gang kecil di Lampung," kata Mujiono menandaskan.