REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mendukung upaya korban 'staycation' untuk melaporkan kasusnya kepada aparat penegak hukum. Kasus itu dinilai bentuk eksploitasi seksual terhadap perempuan.
Karyawati berinisial AD (24 tahun) sudah mengajukan permohonan perlindungan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). AD mengaku, sebagai salah satu korban staycation dari atasan perusahaannya demi perpanjangan kontrak.
"Staycation sebagai syarat perpanjangan kontrak kerja pekerja perempuan adalah modus eksploitasi seksual. Eksploitasi seksual adalah salah satu tindakan yang dapat diproses hukum menurut Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS)," kata Komisioner Komnas Perempuan Tiasri Wiandani dalam keterangannya pada Rabu (10/5/2023).
Tiasri memantau, kasus perempuan pekerja terancam tidak akan diperpanjang kontraknya jika menolak staycation dari atasannya. Artinya, atasan menggunakan relasi timpang dan kerentanan dari perempuan pekerja untuk keuntungannya memperoleh layanan seksual.
"Penyalahgunaan relasi kuasa inilah yang kita maksud dengan eksploitasi seksual," ujar Tiasri.
Kasus eksploitasi seksual memang ditemukan dalam berbagai peristiwa kekerasan terhadap perempuan di ranah publik yang dilaporkan kepada Komnas Perempuan. Menurut Catatan tahunan Komnas Perempuan tahun 2023, terdapat 57,6 persen atau 1.127 bentuk kasus kekerasan seksual dari total 1.956 bentuk kasus kekerasan di ranah publik. Termasuk di dalamnya adalah kasus eksploitasi seksual di dunia kerja dan lembaga pendidikan.
"Dugaan bahwa kasus serupa ini tidak hanya terjadi di Cikarang, tapi juga di banyak tempat perlu diselidiki lebih lanjut oleh pihak Kepolisian, Kementerian Tenaga Kerja, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPP PA)," ujar Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor.
Maria juga mengingatkan, dalam menindaklanjuti laporan korban, semua pihak perlu memastikan hak-hak korban dipenuhi sebagaimana diatur dalam UU TPKS. Menurutnya, kasus ini mengingatkan pentingnya pemerintah Indonesia untuk segera meratifikasi Konvensi Organisasi Buruh Internasional No. 190 tentang Pencegahan Kekerasan Seksual di Dunia Kerja, segera membuat aturan turunan UU TPKS, dan mendorong perusahaan membentuk kebijakan internal untuk penanganan kekerasan seksual.
"Ketersediaan pendampingan hukum dan proses pemulihan yang holistik menjadi prioritas yang akan dipantau Komnas Perempuan," ujar Maria.
Berdasarkan Pasal 12 UU TPKS, pelaku eksploitasi seksual dapat dipidana penjara paling lama 15 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1 miliar rupiah. Pelaku individual dalam posisi atasan dapat diberi tambahan 1/3 pidana. Tindak pidana juga dapat dijatuhkan kepada perusahaan.
Apalagi, perusahaan menurut UU Ketenagakerjaan, Pasal 86 perlu memastikan jaminan hak pekerja bebas dari kekerasan seksual yang merupakan perlakuan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia.