Rabu 10 May 2023 13:47 WIB

Demokrat: Ibarat Main Bola, Presiden Itu Wasit, Harus Netral!

Presiden Jokowi tekankan ia pejabat publik sekaligus pejabat politik.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Teguh Firmansyah
Politikus Demokrat Benny K Harman.
Foto: DPR RI
Politikus Demokrat Benny K Harman.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Benny K Harman menegaskan bahwa semua pihak harus menolak dugaan upaya Presiden Joko Widodo (Jokowi) ikut campur atau cawe-cawe dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Sebab, Jokowi sebagai pimpinan negara diibaratkannya seperti wasit.

"Mengapa sih kita harus menolak Presiden ikut cawe-cawe dan ngatur-ngatur parpol dalam Pilpres 2024? Pilpres itu ibarat main sepak bola, Presiden adalah wasit utamanya. Sebagai wasit, ia harus netral, tidak memihak salah satu tim," cicit Benny yang sudah dikonfirmasi, Rabu (10/5/2023).

Baca Juga

Jokowi sebagai pemimpin negara harus netral dan tak seakan menjegal sosok tertentu di Pilpres 2024. Sebab jika memihak pada sosok tertentu, Jokowi sebagai wasit tentu akan memberikan kartu kuning kepada lawan politiknya.

"Kalau lawan benar dibilang salah, kalau kawan salah dibilang benar dan dibela habis-habisan. Persaingan menjadi tidak sehat, hasilnya pun tidak bermutu," ujar Benny.

Guru besar hukum tata negara, Denny Indrayana, menyampaikan kritik atas sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang ikut cawe-cawe Pilpres 2024. Ia melihat, itu dilakukan dalam rangka mengamankan diri setelah lengser.

Denny merasa, target utama Jokowi sebisa mungkin cuma ada dua paslon pada 2024 yang keduanya merupakan 'all president's men'. Karena itu, calon yang diidentifikasi berseberangan sebisa mungkin dieliminasi sejak awal.

Setidaknya ada 10 strategi yang dijalankan Jokowi. Satu, mempertimbangkan opsi menunda pemilu sekaligus memperpanjang masa jabatan presiden. Pandemi dijadikan salah satu pintu.

Dua, muncul ide mengubah konstitusi guna memungkinkan lebih dari dua periode. Tiga, menggunakan KPK dalam rangka merangkul kawan dan memukul lawan. Empat, memanfaatkan kasus hukum sebagai nilai tawar politik.

Lima, pimpinan parpol yang tidak sejalan diintervensi. Ia menuturkan, ada satu pergantian ketua umum partai politik yang tidak melalui proses sesuai AD/ART dan setelah dikonfirmasi terkait pula Anies Baswedan.

Enam, menyiapkan komposisi hakim MK sebagai antisipasi dan memenangkan sengketa. Tujuh, tidak cukup mendukung Ganjar, mendukung pula Prabowo. Delapan, opsi untuk membuat Anies tersangka dalam kasus Formula E.

Sembilan, merebut Partai Demokrat melalui Moeldoko. Padahal, ia merasa, kalau Jokowi mau, Moeldoko yang merupakan kepala Staf Kepresidenan (KSP) bisa dengan sangat mudah menghentikan ambisinya mencuri Partai Demokrat.

Terakhir, yang menyempurnakan, yaitu berbohong kepada publik. Denny menambahkan, Presiden Jokowi yang berulang kali menyatakan kalau capres urusan ketum, bukan urusannya, malah menginisiasi koalisi besar.

Sebelumnya, Presiden RI Joko Widodo menekankan bahwa ia adalah pejabat publik sekaligus pejabat politik. Karena itu, wajar apabila ia berbicara berkaitan dengan situasi politik.

Pernyataan itu disampaikan Jokowi ketika ditanya mengenai pertemuan dengan petinggi partai-partai politik koalisi pemerintah di Istana Merdeka, Jakarta, baru-baru ini, tapi tidak mengundang Partai Nasdem untuk hadir.

"Dalam politik itu wajar-wajar saja, biasa. Dan saya itu adalah pejabat publik sekaligus pejabat politik. Jadi, biasa kalau saya berbicara politik, ya boleh dong," ujarnya saat memberi keterangan kepada awak media di Mal Sarinah, Jakarta Pusat, Kamis.

Jokowi menambahkan bahwa selama ini dia juga banyak berbicara berkaitan dengan pelayanan publik. Menurut Jokowi, kedua hal itu menjadi tugas seorang presiden, tetapi dia akan berhenti ikut campur ketika sudah ada penetapan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI.

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement