REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengkritik kebijakan Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono yang akan mencabut Kartu Jakarta Pintar (KJP) bagi pelajar perokok. Anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PSI, Idris Ahmad menilai kebijakan itu tidak tepat.
Menurutnya, Pemerintah Provinsi justru diminta agar lebih fokus pada pengesahan Peraturan Daerah (Perda) tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Idris menekankan agar Pemprov DKI serius melindungi anak-anak dari bahaya rokok, sejalan dengan angka prevalensi perokok pada anak terus mengalami peningkatan di tiap tahunnya.
Ia menyebut, angka prevalensi perokok terus meningkat dari tahun ke tahun. Prevalensi perokok pada anak mencapai 7,20 persen pada tahun 2013, 8,80 persen pada tahun 2016, 9,10 persen pada tahun 2018, 10,70 persen di tahun 2019 dan diproyeksikan akan meningkat hingga 16 persen pada 2030 nanti.
"Ini tentu sangat mengkhawatirkan buat status kesehatan anak saat ini dan nanti, jadi benar-benar perlu tindakan serius untuk melindungi," kata Idris dalam keterangannya, Rabu (10/5/2023).
Lebih lanjut, secara realistis, Pemprov DKI Jakarta diminta agar membatasai rokok ketengan. Disamping itu juga harus melakukan penekanan pada iklan-iklan mengenai rokok yang menjadi salah satu faktor yang memengaruhi kalangan anak-anak dalam mengenal rokok.
Menurut Idris, harus ada aturan yang melarang penjualan rokok ketengan serta larangan pembelian rokok oleh anak-anak. Ia juga meminta pemerintah memersempit akses anak-anak terhadap rokok.
"Kalau sekarang kan semua bebas, jadi mereka dengan mudahnya membeli dan menjadi perokok. Diperparah dengan iklan dan promosi rokok yang saat ini sangat mudah ditemui dimana-mana, membuat anak-anak berpikir bahwa merokok adalah sebuah perilaku biasa yang tidak menimbulkan masalah kesehatan," tegas dia.
Idris mengatakan, perlunya pemahaman bersama bahwa hal itu menjadi upaya perlindungan bagi generasi muda dari bahaya rokok. Terutama terhadap kesehatan. Menurut catatannya, data menunjukkan bahwa banyak penderita penyakit kronis dan tidak menular seperti hipertensi yang berobat ke fasilitas kesehatan ternyata memiliki kebiasaan merokok.
Hal itu, lanjut Idris, harus diintervensi sejak dini dengan edukasi dan sosialisasi yang masif terkait bahaya merokok bagi kesehatan di sekolah-sekolah. Sosialisasi itu diantaranya juga soal bahaya rokok elektrik.
"Rokok ini bukan hanya rokok biasa ya, tapi juga rokok elektrik atau vape yang sekarang sudah merebak di mana-mana. Banyak yang bilang rokok elektrik ini enggak berbahaya dan lebih aman, padahal kan itu informasinya gak benar, tetap berbahaya karena aerosolnya mengandung zat-zat berbahaya yang bisa meningkatkan risiko terkena kanker," tambahnya.
Idris melanjutkan, perlindungan anak terhadap bahaya rokok ini juga menjadi alasan urgensitas pembahasan dan pengesahan Perda tentang KTR di Jakarta yang sampai hari ini belum disahkan. "Perlu dasar hukum yang kuat agar implementasi pengendalian rokok lebih baik," tutup dia.