REPUBLIKA.CO.ID, oleh Wahyu Suryana, Nawir Arsyad Akbar
Wacana koalisi besar yang sempat didengungkan seusai acara buka puasa bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan ketum-ketum parpol pada April lalu perlahan mulai hilang. Wacana koalisi besar meredup seusai PDIP mendeklarasikan Ganjar Pranowo sebagai calon presiden (capres) mereka.
Pengamat politik dari Universitas Paramadina, Khoirul Umam mengatakan, saat ini posisi Jokowi sudah berbeda. Beberapa waktu lalu Jokowi masih mencoba mengawinkan PDIP dan partai-partai lain di lingkungan Istana.
Hal itu coba dilakukan Jokowi dengan komposisi capres Prabowo Subianto. Umam merasa, itu pula yang menjadi alasan ketika panen raya di Kebumen, narasi yang dimunculkan bukan Ganjar-Prabowo melainkan Prabowo-Ganjar.
Tetapi, Umam melihat, ketika upaya-upaya pengepungan lima partai terhadap PDIP dijawab langsung Megawati Soekarnoputri, Jokowi terkesan kelimpungan. Desain Jokowi menggabungkan kekuatan PDIP dan lima partai lain tidak tercapai.
Oleh karena itu, Umam berpendapat, saat ini Jokowi sedang mencoba menegosiasi ulang, mencoba melakukan kompromi mengawinkan Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto. Atau, mencoba komposisi terbalik Prabowo dan Ganjar.
"Kalau itu tidak berhasil, karena bagaimanapun kalau komposisi Ganjar-Prabowo, maka elektabilitas Gerindra berpotensi mengalami koreksi besar yang signifikan," kata Umam kepada Republika, Rabu (10/5).
Ia menilai, jika Gerindra berpikir ulang kemungkinan besar mereka tidak akan mengambil opsi itu. Apalagi, jika dicermati banyak partai-partai yang kemarin mendengungkan koalisi besar marah atas kondisi tersebut.
"Marahnya, konteksnya, ternyata kesaktian Pak Jokowi tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya," ujar Umam.
Apalagi, ketika diveto Megawati, jelas Jokowi tidak bisa melakukan apa apa. Konon, Umam mengungkapkan, Prabowo begitu marah sampai bersumpah membangun koalisi yang sangat kuat untuk menghadapi PDIP di 2024 nanti.
"Yang bisa dilakukan Jokowi sekarang menjadi deadlock breaker, apakah memungkinkan, tentu, tapi tidak mudah karena ada ego politik yang sangat besar," kata Umam.
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Jazilul Fawaid mengakui, bahwa koalisi besar akan sulit terealisasi. Karena, menurutnya, untuk menyamakan pandangan dari tiga partai politik besar tidaklah mudah dan membutuhkan waktu yang panjang.
"Tidak mudah mencari titik temu bagi partai partai yang ketua umumnya memang memiliki potensi besar untuk masuk di presiden maupun cawapres," ujar Jazilul lewar pesan suara, Senin (8/5/2023).
Saat ini, PKB bersama Partai Gerindra sudah menjalin kerja sama politik lewat Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR). Keduanya juga bersepakat untuk menjalin komunikasi dengan partai politik lain guna mendulang kekuatan lebih besar.
"Jadi PKB kira-kira ya apa mendinamisir keadaan supaya dinamika seninya itu memang presisi hasilnya. Apalagi nanti disepakati ada koalisi besar," ujar Jazilul.
"Kalau sekarang memang dengan Gerindra kerja samanya, namun kerja sama itu juga dibolehkan untuk merangkul partai-partai yang lain," sambung Wakil Ketua MPR itu.
Mantan ketua umum Partai Golkar yang juga Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Muhammad Jusuf Kalla atau JK menyampaikan pandangannya terkait wacana pembentukan koalisi besar. Menurutnya, itu merupakan ide yang bagus, meskipun realisasinya akan tidak mudah.
"Dalam praktik politiknya itu tentu tidak mudah untuk menyatukan semuanya. Ide ini bagus, tapi pelaksanaan secara riilnya tentu membutuhkan suatu upaya yang keras," ujar JK di kediamannya, Jakarta, Kamis (4/5/2023) malam.
Ia sendiri memiliki pandangannya sendiri terkait pemilihan presiden (Pilpres) 2024. Mantan wakil presiden dari Jokowi itu menilai, kontestasi mendatang akan diikuti oleh tiga atau empat pasangan capres dan calon wakil presiden (cawapres).
"Kita lihat saja saat saya sekarang bahwa terbentuk arah pandang, apakah itu tetap empat atau tiga calon itu akan terjadi," ujar JK.