Rabu 10 May 2023 19:31 WIB

Barang Belum Ada, Apakah Belanja Sistem Pre-Order Boleh dalam Islam?

Dalam sistem PO, pembeli memesan barang kepada penjual padahal barangnya belum ada.

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Qommarria Rostanti
Belanja dengan sistem PO (ilustrasi). Dalam Islam, belanja dengan sistem PO diperbolehkan asalkan memenuhi beberapa persyaratan.
Foto: republika
Belanja dengan sistem PO (ilustrasi). Dalam Islam, belanja dengan sistem PO diperbolehkan asalkan memenuhi beberapa persyaratan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sistem pre-order (PO) banyak digunakan dalam transaksi jual beli saat ini, baik itu untuk produk makanan, pakaian, tanaman, dan lain-lain. Penasarankah Anda bagaimana hukum sistem PO dalam Islam?

Pengasuh Lembaga Pengembangan Da'wah dan Pondok Pesantren Al-Bahjah yang berpusat di Cirebon, Prof Yahya Zainul Ma'arif, atau yang akrab disapa Buya Yahya, menjelaskan konsumen yang ingin membeli sesuatu maka harus tahu barangnya. Jika barangnya tidak ada, maka transaksinya tak sah. Sistem PO "mengharuskan" pembeli memesan barang, padahal barangnya belum dibuat oleh penjualnya.

Baca Juga

Dalam fikih mazhab Syafi’i, Buya Yahya mengatakan ada BAB Akad Salam (Pemesanan Barang). “Jadi Bab Salam itu diletakkan setelah syarat barang yang diperjualbelikan, maksudnya ini jual-beli dengan cara Salam ini tidak memenuhi syarat, tapi tidak haram, atau sah, karena kebutuhan orang saat itu,” kata Buya Yahya dilansir kanal Youtube Al-Bahjah, beberapa waktu lalu.

Syariat yang mengesahkan transaksi tersebut. Penjual atau pembeli tak usah khawatir, asalkan sesuai dengan apa yang dipesan maka transaksi tersebut sah-sah saja. Buya Yahya mengatakan transaksi ini sudah biasa, dan saling menguntungkan.

“Akad Salam itu banyak aturan-aturannya, kurang lebihnya apa yang dilakukan saat itu sudah sah. Dia bayar duit kepada Anda, Anda berjanji mendatangkan barang, lalu Anda buat dan produksi, lalu Anda serahkan, kan sah. Karena barangnya bukan barang ribawiah,” kata Buya Yahya.

Dalam kanal Konsultasi Syariah Republika, anggota Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ustadz Oni Sahroni mengatakan penjualan dengan sistem PO diperbolehkan dalam Islam dengan catatan memenuhi rukun dan syaratnya. Rukun dan syarat yang dimaksud yakni PO untuk produk yang halal dan jelas, disepakati baik sebagai penjual dalam akad Salam, atau sebagai penjual jasa membelikan barang pesanan. Kesimpulan hukum tersebut berdasarkan telaah terhadap substansi dan praktik PO, kaidah muamalah, serta fatwa DSN MUI terkait.

Dari aspek fikih muamalah, model bisnis PO ini diperkenankan menurut syariah jika memenuhi rukun dan syarat. Pertama, barang atau jasa yang diperjualbelikan itu halal.

Produk PO juga harus jelas kriteria dan spesifikasinya, jika tidak maka termasuk gharar. Akad dalam transaksi ini adalah akad ijarah. Ketentuan akad ijarah, di antaranya, fee harus ditentukan di awal berupa nominal atau nisbah sebagaimana hadis riwayat 'Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa'id al-Khudri.

Akad Salam ini diperbolehkan sesuai dengan hadis riwayat Bukhari dari Ibn 'Abbas. Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas untuk jangka waktu yang diketahui".

Penjual harus menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas dan jumlah yang telah disepakati. Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas lebih tinggi, penjual tidak boleh meminta tambahan harga. Namun, jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas lebih rendah dan pembeli rela menerimanya, dia tidak boleh menuntut diskon. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement