REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Kabar perceraian artis Ari Wibowo dan Inge Anugrah membuat pembahasan terkait pembuatan perjanjian pranikah menjadi hal yang santer dibicarakan. Guru besar bidang hukum perdata Universitas Airlangga (Unair) Prof Agus Yudha Hernoko pun memberi penjelasan terkait substansi perjanjian pranikah, sesuai perundang-undangan yang ada.
Yudha mengatakan, perjanjian menyangkut pernikahan adalah hal yang perlu dipertimbangkan matang-matang oleh calon pasangan suami istri, dengan segala konsekuensi hukum. "Ini bukan masalah selera atau suka-suka, tetapi merupakan perbuatan hukum yang menimbulkan akibat hukum," kata Yudha, Kamis (11/5/2023).
Yudha mengatakan, keberadaan perjanjian ini kerap dianggap sebagai bentuk keraguan antara pasangan yang khendak melangsungkan pernikahan. Padahal, kata dia, sejatinya perjanjian menyangkut perkawinan merupakan pilihan yang didasarkan oleh konsekuensi masing-masing.
"Kalau alasan kepercayaan atau keraguan yang dijadikan dasar dibuatnya perjanjian perkawinan, maka hakikat perkawinan yang dilandasi dimensi hukum, moral, serta agama menjadi absurd dan bias," ujarnya.
Yudha juga menyoroti adanya praktik yang kurang tepat dalam pemahaman perjanjian pranikah (prenuptial agreement) dan perjanjian selama perkawinan (post nuptial agreement). Pada dasarnya, kedua perjanjian itu mengatur segala sesuatu serta akibat hukumnya kepada harta benda perkawinan.
Serta, dapat juga memasukkan poin-poin lain sepanjang tidak bertentangan dengan substansi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tepatnya pada pasal 29. Dijabarkan, dalam UU Perkawinan, terdapat ayat yang menyatakan adanya ruang gerak terhadap pengaturan harta benda sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Frasa tersebut yang menurutnya membuka ruang untuk dibuatnya perjanjian perkawinan, yang pada praktiknya kemudian digeneralisir dengan istilah perjanjian pranikah. "Kemudian untuk menindaklanjuti maksud para pihak itu maka diatur lebih lanjut dalam Bab 5 Perjanjian Perkawinan," kata Yudha.
Sesuai Amandemen Putusan MK, vide pasal 29 (1), Yudha menjelaskan, perjanjian ini dapat dilakukan sebelum, pada saat, atau selama perkawinan berlangsung. Sementara formalitasnya dapat dibuktikan melalui perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, yang kemudian isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga terkait.
Ia melanjutkan, surat dengan tulisan tangan, meterai, dan tanda tangan tidak memenuhi syarat formil maupun materiil, dan itu sekedar mengikat para pihak. Bahkan, tulisan mengenai janji tidak akan selingkuh itu menjadi hal yang menggelikan bagi ahli hukum, karena hakikat perkawinan ialah ikatan lahir batin pria dan wanita sebagai suami istri dalam membentuk keluarga berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.
"Sehingga tanpa ada surat tersebut maka komitmen akan kesetiaan dan tanggung jawab terhadap keluarga dan rumah tangga bersifat mutlak," ujarnya.