REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak melakukan diskriminasi dalam menyusun syarat bagi bagi calon penyelenggara bursa karbon. Syarat tersebut akan tertuang dalam Peraturan OJK tentang bursa karbon yang merupakan turunan dari Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).
"Saya pikir yang paling penting adalah harus ada level persaingan yang sempurna. Jangan ada preferensi khusus bagi penyelenggara bursa karbon nantinya, sehingga pendaftaran dan perizinan dipermudah bagi entitas yang diperlakukan khusus tersebut," kata Bhima dalam diskusi publik di Jakarta, Kamis (11/5/2023).
OJK juga diminta mendengarkan masukan dari berbagai pemangku kepentingan terkait dan melakukan sosialisasi masukan tersebut kepada masyarakat. Ia berharap Peraturan OJK terkait bursa karbon yang direncanakan terbit pada Juni 2023 dapat menjadi peraturan yang berkualitas, yang tidak perlu direvisi berkali-kali sehingga menjadi peraturan yang lemah.
Bursa karbon juga diharapkan berjalan beriringan dengan pemungutan pajak karbon, agar perusahaan yang emisi karbonnya telah malampaui batas atas bisa memilih antara membayar pajak karbon atau membeli serapan emisi karbon dari perusahaan di industri yang lebih hijau. Dalam kesempatan yang sama, Anggota Komisi XI DPR RI Misbakhun mengharapkan agar OJK tidak memperlakukan salah satu entitas calon penyelenggara bursa karbon sebagai anak emas.
"Pada saat membahas UU P2SK, kita semua tidak dalam posisi merekomendasikan siapa (sebagai penyelenggara karbon), sebab ini aturan yang sangat baru, dan pemikiran yang baru dalam konsep ekonomi hijau," katanya.
Sebelumnya Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengatakan akan menerbitkan Peraturan OJK terkait bursa karbon pada Juni 2023 sehingga bursa karbon dapat mulai beroperasi pada September 2023.