Jumat 12 May 2023 06:16 WIB

Tes Calistung Calon Siswa SD Dihapus, Pengamat: Langkah Baik

Hakikat sekolah adalah tempat bermain.

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Fernan Rahadi
Sejumlah pelajar SD mencuci tangannya sebelum memasuki area sekolah (ilustrasi)
Foto: REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA
Sejumlah pelajar SD mencuci tangannya sebelum memasuki area sekolah (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Pengamat pendidikan dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Dyah Worowirastri Ekowati menilai penghapusan tes baca tulis dan hitung (calistung) pada calon siswa SD sebagai langkah baik. Hal ini disambut baik mengingat  Menteri Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim menegaskan bahwa seleksi calon peserta didik baru kelas 1 SD tidak boleh dilakukan berdasarkan tes tersebut.

Menurut Dyah, hakikat sekolah adalah tempat bermain yang berasal dari bahasa Yunani, “skhole”. "Yang memiliki arti waktu senggang untuk bersenang-senang," kata Dyah dalam keterangan pers yang diterima Republika. 

Baca Juga

Jika tes calistung dijadikan salah satu seleksi masuk sekolah dasar, maka tentu akan memberikan batasan pada calon siswa untuk mahir dan pintar dalam bidangnya. Hal ini juga berpotensi membebani anak yang sebenarnya memiliki potensi dan keahlian di bidang lain. Selain itu, dapat menggeser fitrah anak di usia PAUD dan TK yang seharusnya datang ke sekolah untuk bermain dan bersenang-senang.

Menurut dia, pemberian materi calistung tidak perlu masuk kurikulum wajib, melainkan cukup di tataran aktivitas alamiah. Calistung juga bukan sebuah tuntutan formal dan menjadi syarat naik atau tidak naik kelas. 

Meskipun demikian, meninggalkan calistung juga bukan sesuatu yang tepat. Ini bahkan dapat menjadi berbahaya dan mengancam masa depan anak jika mereka sama sekali tidak dikenalkan. Maka itu, perlu adanya metode khusus yang diberikan ke anak usia dini tanpa menimbulkan tuntutan besar bagi mereka. 

“Adanya tes saat awal masuk sekolah itu bertujuan untuk mengenal potensi dan kemampuan anak. Sehingga nantinya proses dan metode belajar yang dilaksanakan sesuai dengan apa yang anak senangi dan minati,” ungkapnya.

Pada kesempatan tersebut, Dyah juga menyampaikan, pendidikan karakter akan jauh lebih penting dan bermakna bagi anak usia dini dibandingkan dengan pendidikan kognitif. Budi pekerti dan akhlak yang baik akan menjadi kebiasaan yang bagus jika dilakukan sejak kecil. Misalnya, latihan tertib mengantre, meminta maaf ketika salah, mengucapkan terima kasih saat mendapatkan bantuan dari orang lain, dan lainnya. 

Hal yang paling penting, kata dia, jangan biarkan beban mendidik anak itu hanya pada lembaga formal sekolah. Menurut dia, perlu adanya penyeimbang dan dukungan dari lingkungan sekitar seperti keluarga dan masyarakat. 

Segala strategi dan sistem yang direncanakan pemerintah adalah untuk kemajuan bangsa di bidang pendidikan. Ini akan sia-sia jika tidak dilakukan secara masif dan berbarengan oleh seluruh elemen.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement