REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Heboh Al Zaytun tidak hanya terkait dengan keagamaan, tetapi juga persoalan politik. Pada Pemilu 2004 lalu Panwaslu menemukan fakta adanya santri di bawah umur yang ikut mencoblos di Ponpes Al Zaytun.
Selain itu, ada pula 99 pemilih yang memiliki kartu pemilih ganda. Temuan itu terungkap dalam rapat gabungan antara Panwaslu Pusat, Panwaslu Jabar, Panwaslu Indramayu, dan Panwaslu Kecamatan Gantar, di Bandung, Ahad siang (11/7/2004) lalu.
Mencuatnya kasus dugaan penggelembungan suara hingga mobilisasi massa dalam pemilihan presiden (pilpres) ke Pondok Pesatren Al-Zaytun tidak terlepas dari hasil investigasi dari sebuah lembaga pengawas pemilu (panwaslu) yang berada di Kecamatan Gantar. Kecamatan ini merupakan kecamatan baru hasil pemekaran Kecamatan Haurgeulis Kabupaten Indramayu, yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Subang.
Panwaslu itu dipimpin Sudirman Gandaatmadja. Sosok Dirman, demikian ia akrab disapa, dikenal atos (keras--Red) sehingga tak pernah berhenti dalam mencari data-data baru berkait dengan dugaan pelanggaran pemilu di wilayahnya itu. Termasuk di Ma'had Al Zaytun yang dipimpin oleh Syekh Panji Gumilang.
Temuan adanya dugaan pelanggaran di Ponpes Al Zaytun itu merupakan salah satu dari beberapa temuan Panwaslu Gantar yang hingga kini belum berkeputusan, apakah termasuk pelanggaran atau bukan.
Temuan penggelembungan suara di Al Zaytun itu sebenarnya sudah dilaporkan kepada lembaga yang berada di atasnya, seperti KPUD dan Panwaslu Indramayu pada pertengahan Maret 2004, sebelum berlangsung pemilihan legislatif. Namun, kedua lembaga itu seolah tak menggubris persoalan yang terjadi.
''Sebenarnya kita ini ditugaskan untuk menyampaikan amanat rakyat dalam melakukan pengawasan pemilu yang bertujuan agar pemilu di wilayah kita berjalan sesuai dengan roda demokrasi,'' ujar Dirman membuka percakapan dengan Republika, Ahad (11/7/2004).
Sejak dipercaya menjadi ketua Panwaslu Kecamatan Gantar, Dirman mengaku harus rela bekerja hingga tengah malam dan bahkan pulang keesokan harinya. Hal itu dilakukan dengan harapan pemilu yang berlangsung di wilayahnya, berjalan aman dan tertib tanpa pelanggaran.
Salah satu bentuk keseriusan dari tugasnya, Dirman bersama teman-temannya dari Panwaslu Kecamatan Gantar adalah mencatat semua mobil dan kendaraan yang masuk ke Ponpes terbesar di Asia Tenggara itu, terutama menjelang pelaksanaan pemilu. Saat itu pula, tugas sebagai seorang pengawas pemilu benar-benar diuji.
Bermodalkan insting sekaligus kepekaan, muncul kecurigaan yang sangat mendasar. Apalagi, mobilisasi massa itu diarahkan ke pondok pesantren yang hingga kini keberadaannya selalu memunculkan pro-kontra di kalangan masyarakat. ''Mobil yang datang itu kita catat semua. Bahkan, di antaranya ada yang menggunakan mobil bertuliskan Mabes TNI dan mobil berplat merah,'' kata Dirman.
Baca juga: 7 Daftar Kontroversi Panji Gumilang Pimpinan Al Zaytun yang tak Pernah Tersentuh
Pria yang mulai merawat jenggotnya yang panjang dan ke mana-mana selalu mengenakan pin bertuliskan Panwaslu itu pun tak tinggal diam. Ia melaporkan semua persoalan dan temuan di lapangan. Temuan demi temuan adanya dugaan pelanggaran terus dilaporkan hingga mencuat menjadi berita utama di media cetak dan elektronik nasional.
Menurut Dirman, adanya temuan dugaan pelanggaran pemilu di Al Zaytun terjadi karena tertutupnya lembaga pendidikan itu dalam memberikan penjelasan kepada umum.
Kata dia, pihak Al Zaytun lebih memilih mendirikan tempat pemungutan suara (TPS) sendiri ketimbang berbaur dengan masyarakat sekitar. Padahal, secara administratif kawasan Al Zaytun masuk ke dalam wilayah Desa Mekar Jaya.
Ia juga menyoroti penolakan masuknya saksi dari sejumlah capres ke lokasi Al Zaytun. Hal itu, menurut dia, menjadi tanda tanya besar bagi pihak luar. Namun, mencuatnya kasus itu membawa dampak bagi Dirman. Ia menerima ancaman dan teror. Ia mengaku, dua kali diancam oleh orang tak dikenal melalui telepon genggamnya dan melalui pesan singkat atau SMS.