REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Masa berlaku surat izin mengemudi (SIM) lima tahun dan bisa diperpanjang digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Penggugat merasa dirugikan apabila harus memperpanjang SIM setelah masa berlakunya habis atau mati setelah lima tahun.
“Setiap perpanjangan SIM, misalnya lima tahun yang lalu saya mendapatkan SIM setelah itu lima tahun habis saya akan memperpanjang kedua. Ini nomor serinya berbeda, Yang Mulia,” kata Arifin Purwanto, yang berprofesi sebagai advokat dalam sidang yang dipublikasikan lama MK, Rabu (10/5/2023). Arifin menyebut setiap lima tahun sekali ia harus memperpanjang SIM.
Menurut Arifin, di sini tidak ada kepastian hukum dan kalau terlambat semuanya harus mulai dari baru dan harus diproses. Tentu berbanding terbalik dengan KTP. “Jadi kalau KTP langsung dicetak,” kata Arifin dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah.
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) pada Rabu (10/5/2023), secara langsung dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan. Permohonan perkara Nomor 42/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Arifin Purwanto yang berprofesi sebagai advokat.
Arifin mengujikan Pasal 85 ayat (2) UU LLAJ yang menyatakan, “Surat Izin Mengemudi berlaku selama 5 tahun dan dapat diperpanjang.”
Dalam permohonannya, Arifin menyebut masa berlaku SIM yang hanya 5 tahun tidak ada dasar hukumnya dan tidak jelas tolak ukurnya berdasarkan kajian dari lembaga yang mana. Kerugian lainnya, yakni Pemohon harus mengeluarkan uang/biaya serta tenaga dan waktu untuk proses memperpanjang masa berlakunya SIM setelah habis/mati.
Sesuai dengan UU LLAJ, setiap pengendara wajib memiliki SIM. Bagi pengendara kendaraan bermotor yang akan memiliki/mendapatkan SIM tentu bukan perkara yang mudah terutama pada saat ujian teori dan praktik.
Di mana, hasil ujian teori tidak ditunjukkan mana jawaban yang benar dan mana yang salah namun hanya diberitahu kalau tidak lulus ujian teori. Selain itu, tolak ukur materi ujian teori dan praktik tidak jelas dasar hukumnya dan apa sudah berdasarkan kajian dari lembaga yang berkompeten dan sah serta memiliki kompetensi dengan materi ujian tersebut. Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Selama ini, sebelum mengadakan sebuah ujian tentunya ada pembelajaran terlebih dahulu. Namun, dalam memperoleh SIM, tidak pernah ada pelajaran baik teori maupun praktik tentang lalu lintas dan angkutan jalan dari lembaga yang berkompeten, tetapi langsung proses ujian.
Oleh karena itu, pengendara yang akan mencari/mendapatkan SIM sering kali tidak lulus. Karena tidak adanya dasar hukum yang jelas, kondisi ini sering kali dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu, misalnya calo.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, Arifin meminta MK untuk mengabulkan permohonan dan menyatakan Pasal 85 ayat (2) UU LLAJ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “berlaku selama 5 tahun dan dapat diperpanjang” tidak dimaknai “berlaku seumur hidup”.