REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kalender Islam Global adalah kalender Islam yang dimaksudkan bisa menjadi kalender bersama bagi semua negara Islam atau bagi umat Islam di seluruh dunia.
Upaya-upaya penyatuan kalender Islam ini sudah dilakukan sejak lama, hanya saja tidak banyak negara yang melaksanakan kesepakatan ini, termasuk di Indonesia.
Menurut Kepala Subdit Hisab Rukyat dan Syariah Kemenag RI Ismail Fahmi, masih sangat jauh bagi Indonesia untuk bercita-cita menyatukan kalender Islam global. Jangankan secara global, untuk skala nasional saja ia lihat masih cukup menguras energi.
Menurut Ismail, secara regional melalui MABIMS (Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura), kalender Hijriyah sudah satu, itu hal yang positif sekali, apalagi beberapa ormas di Indonesia, seperti NU, Persis, Al Irsyad, Al Washliyah, Dewan Dakwah, juga sudah sama kriterianya dengan yang ada di MABIMS.
"Alhamdulillah, sudah menyatakan untuk ikut pemerintah. Tapi, kalau untuk global, kalau lihat hasil Turki 2016, sepertinya belum ada yang menerapkan. Ini menjadi bukti bahwa kriteria global itu banyak yang tidak setuju karena bukan kesepakatan, tapi hasil dari voting, di mana kriteria yang diusulkan sebetulnya enggak satu," kata Ismail kepada Republika.co.id, Jumat (12/5/2023).
Menurut Ismail, Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura lebih sepakat menggunakan kriteria imkanur rukyat, yakni tinggi hilal 3 derajat dan sudut elongasi 6,4 derajat. Kemudian, tambahnya, jika kalender Islam global, Arab Saudi pun sudah memiliki kriterianya sendiri, yakni kalender Ummul Qura.
"Arab Saudi sudah punya fatwa sendiri, untuk selain Arab tidak perlu mengikuti Arab Saudi, tetapi ikut ketetapan pemerintahnya masing-masing. Pak Menteri arahannya adalah untuk saling menghargai dan menghormati jika ada perbedaan," kata Ismail.
"Ya, inilah Indonesia dengan berbagai keyakinan dan, alhamdulillahnya, Indonesia adalah negara yang paling ahli dalam mengelola perbedaan sehingga tidak sampai perang dan ekses-ekses lainnya yang berbahaya," tutup Ismail.
Ramai perbincangan sistem Kalender Islam Global Unifikasi (KIGU) kembali mengemuka pascakasus hukum yang melibatkan peneliti BRIN AP Hasanuddin.
Dalam cuitannya, AP Hasanuddin yang telah ditetapkan sebagai tersangka itu menulis: “Ahmad Fauzan S perlu saya HALALKAN GAK NIH DARAHNYA semua mhammadiyah? Apalagi muhammadiyah yang disusupi Hizbut Tahrir melalui agenda Kalender Islam Global dari Gema Pembebasan? BANYAK BACOT EMANG!!!! SINI SAYA BUNUH KALIAN SATU-SATU,” dan seterusnya.
Ketua PP Muhammadiyah Bidang Tarjih dan Tajdid Prof Syamsul Anwar memaparkan urgensi penerapan penyatuan kalender Islam ke dalam sistem Kalender Islam Global Unifikasi (KIGU). "Kita memerlukan penyatuan kalender Islam karena kita tidak lagi dibatasi oleh batas-batas geografis, bisa melihat, ketemu dengan siapa pun, dengan teknologi," katanya dalam diskusi tentang konsep Kalender Islam Global yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu (10/5/2023).
Syamsul mengatakan penyatuan kalender Islam ke dalam sistem KIGU sangat penting karena menyangkut ibadah umat Islam di seluruh dunia.
Baca juga: Mualaf Theresa Corbin, Terpikat dengan Konsep Islam yang Sempurna Tentang Tuhan
Terkait hari Arafah, kata dia, sebagai salah satu hari terpenting dalam ibadah haji yang harus dilakukan pada tanggal 9 Dzulhijah, ketika seluruh jamaah diwajibkan untuk melakukan wukuf dalam kondisi apa pun. Dia juga menjelaskan pada waktu yang sama, umat Islam di belahan bumi lainnya juga ikut beribadah melalui puasa sunah Arafah.
"Ini menunjukkan seberapa penting penyatuan kalender jatuhnya hari ibadah umat Islam supaya ibadah kita sesuai pada waktunya," tambah ulama yang mengajar di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta itu.
Syamsul mengatakan, urgensi selanjutnya adalah utang peradaban. Menurut dia, umat Islam telah ada selama 15 abad, tapi belum memiliki satu kalender yang terunifikasi secara global.