ruzka.republika.co.id--Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI) kembali menggelar rangkaian seminar awam yang diselenggarakan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan masalah kesehatan spesial Hari Lupus Sedunia. Seminar ini memiliki tajuk utama: “Kenali Lupus, Dukung dan Sayangi Odapus”.
Pada setiap 10 Mei diperingati sebagai Hari Lupus Sedunia. Lupus adalah penyakit yang terjadi ketika sistem kekebalan tubuh menyerang jaringan dan organ tubuh sendiri (penyakit autoimun).
Peradangan yang disebabkan oleh lupus dapat mempengaruhi berbagai sistem tubuh, termasuk diantaranya persendian, kulit, ginjal, sel darah, otak, jantung, dan paru-paru.
Lupus seringkali sulit didiagnosis karena tanda dan gejalanya sering kali mirip dengan penyakit lain.Tidak hanya pada orang dewasa, penyakit lupus juga bisa terjadi pada anak-anak, biasanya paling sering terjadi pada usia remaja (rata-rata pada usia 12 tahun).
Gejala yang mungkin dialami anak dengan lupus sangat mirip dengan gejala orang dewasa, tetapi bisa lebih parah pada anak-anak. Oleh karena itu, penting untuk mengenal gejala lupus sejak dini agar bisa mendapatkan terapi yang lebih baik.
Seminar Awam Bicara Sehat ini hadir untuk memberikan pengetahuan dan informasi seputar isu yang diangkat.
Seminar ini dimoderatori oleh Ns. Joan Xaveria Mahulae, S.Kep, MKM yang merupakan Head Nurse Rawat Jalan RSUI.Narasumber pertama yaitu Dr. dr. Alvina Widhani, Sp.PD-KAI yakni seorang Dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Alergi Imunologi RSUI.
Dokter Alvina membawakan materi berjudul “Mengenal Lupus: Penyakit Seribu Wajah”.
Dokter Alvina mengawali materi dengan menjelaskan bahwa penyakit lupus merupakan salah satu penyakit autoimun yang sifatnya sistemik yaitu bisa menyerang berbagai organ, mulai dari kulit, sendi, sel darah, mata, ginjal, saraf, paru, dan sebagainya.
Penyakit lupus juga bersifat bervariasi/heterogen yang artinya kejadian penyakitnya dapat berbeda-beda pada tiap pasien, ada yang kelainannya ringan, misalnya di kulit, ada pula yang sejak awal sudah menyerang organ-organ yang vital seperti di ginjal atau saraf.
Penyakit lupus juga sifatnya kronik, sehingga butuh pengawasan dan pengobatan dalam jangka panjang, serta dinamis yang berarti bisa terkontrol, tapi suatu hari bisa kambuh kembali kalau ada pemicunya.
Dokter Alvina juga menjelaskan bagaimana autoimun terjadi. Autoimun terjadi ketika sistem kekebalan tubuh bereaksi berlebihan. Autoimun berbeda dengan alergi. Alergi terjadi ketika kekebalan tubuh bereaksi berlebihan terhadap target dari luar misalnya dari debu atau makanan.
Sementara, pada autoimun menyerang tubuh sendiri dan tidak bisa mengenali sel-sel tubuh yang seharusnya tidak diserang malah diserang, istilahnya seperti “Ketika Kawan Menjadi Lawan”.
Seseorang dapat mengalami autoimun ketika terjadi interaksi kompleks dari beberapa faktor. Beberapa faktor tersebut diantaranya saat seseorang memiliki faktor genetik yang menyebabkan respon kekebalan tubuh tidak berfungsi dengan normal.
Tidak hanya faktor genetik, ada pula pemicunya yang bisa berasal dari hormon-hormon dalam tubuh atau dari lingkungan. Pada faktor hormon, seringkali lupus lebih banyak terjadi pada perempuan dibanding laki-laki (rasionya sekitar 9:1), karena terkait dengan hormon estrogen dan prolaktin.
Kadar vitamin D yang kurang dalam tubuh juga memicu manifestasi penyakit autoimun. Beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu penyakit ini diantaranya seperti paparan sinar UV, konsumsi obat-obatan tertentu, merokok, diet yang tidak sehat, konsumsi alkohol, dan paparan zat kimia atau pestisida.
Dalam mendiagnosis seseorang mengalami penyakit lupus, dokter akan melakukan wawancara, pemeriksaan fisis, pemeriksaan lab darah dan urin, serta yang paling penting adalah pemeriksaan autoantibodi (beberapa diantaranya seperti tes ANA, anti ds-DNA, dan lupus antikoagulan).
Beberapa gejala lupus yang bisa diwaspadai diantaranya demam, penurunan berat badan, mudah lelah, nyeri sendi dan bengkak, ruam kulit, kemerahan saat terkena sinar matahari, sariawan, rambut rontok, penurunan fungsi ginjal, gangguan jantung, mata dan sebagainya.
Dokter Alvina mengatakan, yang perlu kita perhatikan bahwa satu gejala ini belum tentu terkait dengan lupus. Misalnya demam, bukan hanya karena lupus. Jangan di satu sisi kita terlalu khawatir, tapi di satu sisi juga jangan lengah. Yang perlu kita waspadai yaitu saat muncul lebih dari satu gejala dan gejala-gejala tersebut menetap dalam waktu yang lama.
Seringkali ada pertanyaan apakah lupus bisa sembuh? Faktor genetik tidak bisa kita hilangkan, tapi bisa kita kendalikan agar gejalanya terkontrol. Jadi targetnya adalah mengalami remisi, supaya dosis obat seminimal mungkin (bahkan ada yang bisa tanpa obat pada kondisi lupus ringan), sehingga hanya perlu menghindari pemicu.
Penanganan penyakit lupus perlu melibatkan langkah yang multidisiplin karena penyakit ini sifatnya kronik dan berlangsung lama, sehingga butuh perhatian, dukungan, pengobatan dan pemantauan.Untuk pengobatan penyakit lupus tidaklah sama antar pasien. Hal ini tergantung dari tingkat keparahan dan adanya penyakit penyerta.
Dokter akan memilih obat sesuai dengan organ yang terkena dan kondisi pasien. Setelah minum obat pun, pasien harus terus dimonitor efek samping pengobatannya, sehingga pasien tidak bisa membeli obat saja terus-menerus tanpa ada pengawasan dari dokter.
Obat bagi pasien lupus terdiri dari imunosupresan (obat yang menekan kekebalan tubuh), obat lain untuk kondisi penyerta, dan suplemen. Salah satu suplemen yang sangat penting adalah vitamin D. Selain untuk kesehatan tulang dan sendi, vitamin D juga berperan untuk fungsi daya tahan tubuh.
Defisiensi vitamin D pada orang dengan lupus dapat meningkatkan aktivitas penyakitnya, sehingga penting sekali untuk memenuhi kebutuhan vitamin D harian. Kebutuhan dasar hariannya yaitu sekitar 600-800 IU atau 800-1000 IU ketika sinar matahari tidak mencukupi.
Vitamin D dapat didapatkan dari makanan, namun jumlahnya tidak begitu besar sehingga dibutuhkan suplementasi vitamin D, apalagi pasien juga disarankan untuk menghindari sinar UV. Pasien yang mengonsumsi suplemen vitamin D dosis tinggi perlu mendapatkan pemantauan dari dokter.
Selain terapi dengan obat, penyakit lupus dapat juga dikontrol dengan terapi-terapi lainnya seperti perubahan pola hidup yang lebih sehat, diantaranya:
1) diet sehat, mengonsumsi makanan bergizi seimbang serta hindari makanan ultra-process atau yang mengandung banyak pengawet buatan.
2) lakukan latihan fisik secara teratur yang disesuaikan dengan kemampuan dan pilih yang minimal cedera, pasien dapat berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter.
3) jalani pola tidur yang baik, gangguan tidur seringkali dialami oleh pasien lupus.
4) mengelola stres dengan baik.
5) menghindari rokok.
6) bangun komunikasi dan hubungan yang baik dengan keluarga dan teman. Dukungan keluarga dan teman sangatlah penting dalam mengontrol penyakit lupus.
Dokter Alvina juga membahas terkait lupus dan kehamilan. Kehamilan pada lupus penting untuk diperhatikan, karena kehamilan bisa memicu aktivitas lupus lebih aktif dan lupus juga dapat berdampak buruk bagi kehamilan seperti kelahiran prematur, kematian janin dalam kandungan, pertumbuhan janin terhambat, dan neonatal lupus. Sehingga perlu dibuat perencanaan sejak awal, serta komunikasi dengan dokter dan pasangan.
Idealnya penyakit lupusnya perlu dikontrol dulu sebelum merencanakan program hamil. Ibu harus minum obat teratur agar lupus terkontrol dan akan dilakukan pengaturan obat yang boleh saat hamil. Selain itu dokter juga akan mempertimbangkan jenis kontrasepsi yang tepat. Sebaiknya hindari kontrasepsi yang bersifat hormonal, karena dapat mempengaruhi aktivitas penyakit.
Di akhir, dokter Alvina menyampaikan beberapa kesimpulan diantaranya penting mengenal lupus sejak dini sehingga dapat di tatalaksana lebih cepat dan tepat. Respon pengobatan akan lebih baik jika didiagnosis lebih dini.
Semua ini membutuhkan dukungan tidak hanya dari tim medis tapi juga dari orang-orang sekitar karena lupus adalah penyakit jangka panjang.
Narasumber kedua pada seminar ini yaitu dr. Annisa Rahmania Yulman, Sp.A yakni seorang Dokter Spesialis Anak RSUI. Dokter Ninis membawakan materi berjudul “Lupus pada Anak, Seperti Apa?”.
Dokter Ninis menjelaskan penyakit lupus pada anak seringkali perjalanan sakitnya lebih berat, kerusakan organ lebih cepat, perkembangan yang sulit diduga, serta memerlukan pengawasan medis jangka panjang berkesinambungan hingga usia dewasa. Kemunculan lupus pada anak bisa terjadi di segala usia, namun jarang muncul pada usia bawah 5 tahun, dan prevalensi meningkat setelah usia 10 tahun.
Beberapa gejala umum lupus pada anak diantaranya sering lemas dan mudah lelah, suhu tubuh >37,8o C, penurunan berat badan akibat nafsu makan menurun atau masalah saluran cerna, atau peningkatan berat badan akibat retensi air dan garam yang berhubungan dengan kerusakan ginjal, nyeri sendi dan otot, pembesaran kelenjar, dan gejala ini dapat terjadi dalam beberapa minggu hingga bulan.
Penyakit lupus ini juga dapat berdampak ke paru. Anak mengalami nyeri ketika bernapas akibat pembengkakan pada selaput paru, dan napas pendek akibat pengumpulan cairan pada selaput paru.
Dokter Ninis menyampaikan orangtua sebaiknya segera berkonsultasi ke dokter anak bagian alergi dan imunologi bila mengalami berbagai gejala-gejala tersebut.
Gejala awal pada anak yang lebih sering dibanding dewasa diantaranya gejala ginjal, demam, gejala pada mata, kejang, limfadenopati (pembesaran kelenjar getah bening).Jika seorang anak menderita lupus, terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan, diantaranya:
1) lakukan pemantauan klinis dan perkembangan penyakit secara komprehensif dan multidisiplin.
2) pengobatan dilakukan jangka panjang dengan obat-obatan yang bersifat penekan sistem imun dengan efek samping tertentu.
3) penuhi nutrisi seusai anjuran dokter.
4) gunakan sunscreen secara rutin dan hindari paparan sinar ultraviolet.
5) tetap melakukan aktivitas fisik yang sesuai anjuran dokter.
6) hindari paparan asap rokok.
7) pastikan pemantauan tumbuh kembang serta emosi dan psikososial anak dengan lupus.
Narasumber ketiga pada seminar ini yakni Tiara Savitri yakni Ketua Yayasan Lupus Indonesia. Beliau merupakan aktivis lupus sejak tahun 1998, dan aktif menyebarkan awareness dan menyemangati para Odapus.
Tiara merupakan survival lupus sejak tahun 1987. Alasan beliau membuat Yayasan Lupus ini karena pada saat itu beliau merasa sendiri, dokter sangat langka dan para Odapus tidak bisa sharing dengan teman-teman. Mereka saat itu “buta” informasi terkait apa yang harus dilakukan dan apa yang dilarang bagi Odapus.
Yayasan Lupus Indonesia dapat menjadi wadah bagi para Odapus untuk saling sharing informasi dan menyemangati. Saat awal diagnosis, banyak Odapus yang merasa putus asa, seolah-olah kehilangan harapan hidup.
Tiara selalu menyemangati teman-teman Odapus untuk senantiasa berpikir positif dalam hal apapun. Tiara sempat mengalami beberapa kali flare-up dan itu memang tidak mudah, namun dia mengatakan itu semua dapat diatasi dengan keyakinan dalam diri kalau kita bisa berjuang menghadapinya dan hindari overthinking, lupus bukan akhir dari segalanya. Lupus bukanlah penyakit yang menakutkan, yang menakutkan adalah kalau kita tidak mengikuti anjuran dari dokter.
Antusiasme peserta sangat tinggi, dengan jumlah peserta sebanyak 200 orang, dan juga berbagai pertanyaan yang muncul pada seminar ini, diantaranya pertanyaan mengenai apakah ibu yang lupus dapat menurunkan penyakit lupus ke anaknya.
Dokter Alvina mengatakan bahwa memang ada faktor genetik pada terjadinya penyakit lupus, jadi memang ada kemungkinan. Tapi belum tentu kalau punya genetik tersebut bisa bermanifestasi menjadi lupus, karena genetik itu diturunkan dari kedua orang tua bukan hanya dari ibu saja, dan kemudian ada faktor pemicu juga.
Kalau punya faktor genetik dan tidak ada pemicunya, belum tentu autoimunnya terjadi. Ada faktor pemicu yang bisa kita kontrol dan ada yang tidak bisa kontrol.Bagi
Sahabat RSUI yang masih penasaran mengenai keluhan atau pertanyaan terkait penyakit lupus, dengan senang hati dokter-dokter RSUI akan membantu memberikan saran medis di poli rawat jalan RSUI.
RSUI berharap kegiatan Seminar Awam Bicara Sehat Virtual ini dapat terus hadir sebagai salah satu upaya promotif dan preventif kepada masyarakat luas.
Untuk mendapatkan informasi terkait pelaksanaan seminar Bicara Sehat selanjutnya dapat dipantau melalui website dan media sosial RSUI.
Siaran ulang dari seminar awam ini dapat juga disaksikan di channel Youtube RSUI pada link berikut https://youtube.com/live/PvFeaYUmR78?feature=share . Sampai bertemu kembali di ajang bicara sehat berikutnya!. (Rusdy Nurdiansyah)