Ahad 14 May 2023 16:27 WIB

Asosiasi Petani Usul Penyesuaian Harga Gula

Usulan tersebut mempertimbangkan kenaikan biaya pokok produksi.

Buruh angkut menaikkan tebu ke atas truk di Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Rabu (10/8/2022). Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) mengusulkan penyesuaian harga pembelian gula di tingkat petani atau harga pokok penjualan (HPP) menjadi sebesar Rp 15 ribu per kg.
Foto: ANTARA/Syaiful Arif
Buruh angkut menaikkan tebu ke atas truk di Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Rabu (10/8/2022). Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) mengusulkan penyesuaian harga pembelian gula di tingkat petani atau harga pokok penjualan (HPP) menjadi sebesar Rp 15 ribu per kg.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) mengusulkan penyesuaian harga pembelian gula di tingkat petani atau harga pokok penjualan (HPP) menjadi sebesar Rp 15 ribu per kg. Sekretaris Jenderal APTRI Nur Khabsyin di Jakarta, pada Sabtu (13/5/2023) mengatakan, usulan penyesuaian harga pembelian di tingkat petani tersebut telah mempertimbangkan biaya pokok produksi (BPP) gula dari sejumlah komponen yang mengalami kenaikan.

"Wajar, jika HPP (harga pokok penjualan) naik dikarenakan biaya pokok produksi gula juga naik, antara lain kenaikan biaya akibat pemakaian pupuk nonsubsidi, upah tenaga kerja, dan biaya transportasi," katanya.

Baca Juga

Selain itu, lanjutnya, penyesuaian harga di tingkat petani pun perlu dilakukan karena adanya penurunan produksi tebu yang rata-rata mencapai 20 persen sebagai dampak perubahan iklim akibat El Nino. Kemudian, adanya permasalahan di pemupukan yang dinilai membuat aktivitas tanam jadi terkendala, sehingga membuat penurunan produksi menjadi semakin sulit dihindari.

"Produksi tebu terus menurun dikarenakan pemupukan yang tidak optimal, di mana pupuk semakin mahal dan langka, sehingga banyak petani yang memupuk tebu tidak tepat waktu. Selain itu, dosis pupuk ini tidak bisa maksimal," ujar Nur Khabsyin.

Selain penyesuaian HPP di tingkat petani, menurut dia, harga acuan pemerintah (HAP) gula di tingkat pengecer gula di tingkat eceran sebaiknya dihapuskan. Menurut dia, sebaiknya HAP atau HET gula di tingkat pengecer disesuaikan dengan harga pasar agar petani bisa menikmati keuntungan dari produksinya.

"Tidak perlu ada HAP atau HET biar harga itu sesuai dengan pasar, sehingga petani bisa menikmati keuntungan dan tidak terbelenggu dengan HAP atau HET. Ini usulan kami," katanya.

Sementara itu, pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori mengatakan dengan proses produksi yang minim dari sentuhan pemerintah, sudah sewajarnya harga gula dilepas ke harga pasar.

Bila tidak, lanjutnya, maka pihak petani akan menjadi pihak yang paling dirugikan. Biaya produksi tinggi, akses terhadap pupuk subsidi dibatasi, namun harga jual hasil perkebunan maupun produk hilirnya dibatasi pemerintah.

"Karena HET (kini disebut harga acuan pemerintah/HAP) itu mengikat publik. Mestinya, jika HET diberlakukan, sebaiknya hanya mengikat pemerintah dan operator yang ditugaskan untuk menjaga kestabilan harga, seperti Bulog atau ID Food," bebernya.

Secara terpisah, Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo mengatakan usulan kenaikan HPP gula akan dibawa dalam rapat koordinasi teknis (rakornis) terkait harga pembelian dan penjualan gula oleh Badan Pangan Nasional yang rencananya digelar pada akhir pekan ini.

"Masukan dari petani tebu, kementerian, dan lembaga sudah kita siapkan untuk rakornis. Setelah rakornis, kita jadwalkan rakortas untuk kita tetapkan harga wajar di tingkat petani dan harga wajar di pabrik dan konsumen seperti permintaan presiden," katanya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement