REPUBLIKA.CO.ID, MAKKAH -- Sebelum Islam datang, Ka'bah sudah menjadi tempat yang sakral. Bagian dari Ka'bah posisinya tidak boleh diotak-atik untuk diubah apa pun alasannya dan jika hal itu dilakukan akan berdampak negatif pada orang yang melakukannya.
"Sepanjang zaman jahiliyah keadaan mereka diliputi oleh pelbagai macam legenda yang mengancam, barang siapa yang berani mengadakan sesuatu perubahan," tulis Husen Haekal dalam bukunya Sejarah Muhammad.
Dengan demikian, perbuatan itu (mengubah) Ka'bah dianggap tidak umum. Akan tetapi, sesudah mengalami bencana banjir tindakan demikian itu adalah suatu keharusan, walaupun masih serba-takut-takut dan ragu-ragu.
Husen Haekal mengatakan, suatu peristiwa kebetulan telah terjadi sebuah kapal milik seorang pedagang Rumawi bernama Baqum yang datang dari Mesir terhempas di laut dan pecah. Sebenarnya Baqum ini seorang ahli bangunan yang mengetahui juga soal-soal perdagangan.
"Sesudah Quraisy mengetahui hal ini, berangkatlah al-Walid bin’l-Mughira dengan beberapa orang dari Quraisy ke Jeddah," katanya.
Kapal itu dibelinya dari pemiliknya, yang sekalian diajaknya berunding supaya sama-sama datang ke Makkah guna membantu mereka membangun Ka’bah kembali. Baqum menyetujui permintaan itu.
Pada waktu itu di Makkah ada seorang Kopti yang mempunyai keahlian sebagai tukang kayu. Persetujuan tercapai bahwa diapun akan bekerja dengan mendapat bantuan Baqum.
Sudut-sudut Ka’bah itu oleh Quraisy dibagi empat bagian setiap kabilah mendapat satu sudut yang harus dirombak dan dibangun kembali.
Sebelum bertindak melakukan perombakan itu mereka masih ragu-ragu, khawatir akan mendapat bencana. Kemudian al-Walid bin’l-Mughira tampil ke depan dengan sedikit takut‐takut.
"Setelah ia berdoa kepada dewa-dewanya mulai ia merombak bagian sudut selatan," katanya.
Tinggal lagi orang menunggu-nunggu apa yang akan dilakukan Tuhan nanti terhadap al-Walid. Tetapi, setelah ternyata sampai pagi tak terjadi apa-apa, mereka pun ramai-ramai merombaknya dan memindahkan batu-batu yang ada.