Selasa 16 May 2023 04:49 WIB

Psikolog: Tersangka Pembunuhan dan Mutilasi Alami Distress Psikologis

Tersangka menyimpan dendam yang amat sangat akibat sering direndahkan.

Rep: Bowo Pribadi/ Red: Yusuf Assidiq
Kapolrestabes Semarang, Kombes Pol Irwan Anwar menunjukkan tersangka dan barang bukti, dalam jumpa pers ungkap kasus pembunuhan dan mutilasi terhadap pemilik usaha depot air mineral isi ulang, yang dilaksanakan di lobi Mapolrestabes Semarang, di Kota Semarang, Rabu (10/5) siang.
Foto: Republika/Bowo Pribadi
Kapolrestabes Semarang, Kombes Pol Irwan Anwar menunjukkan tersangka dan barang bukti, dalam jumpa pers ungkap kasus pembunuhan dan mutilasi terhadap pemilik usaha depot air mineral isi ulang, yang dilaksanakan di lobi Mapolrestabes Semarang, di Kota Semarang, Rabu (10/5) siang.

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Peristiwa pembunuhan sadis terhadap Irwan Hutagalung (53), pemilik usaha depot air mineral isi ulang di Jalan Mulawarman Raya, Kota Semarang, masih hangat dalam ingatan.

Masyarakat pun masih dibuat bertanya-tanya, bagaimana pelaku Muhamad Husen (27) bisa melakukan pembunuhan, memutilasi korban menjadi empat bagian, dan menanam jasadnya dengan cara dicor menggunakan semen.

Psikolog dan pengamat kepolisian Fakultas Psikologi Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, Dr Tugimin Supriyadi, mencoba menguak kondisi pelaku, dari sisi kajian keilmuan bidang psikologi.     

Supriyadi menyebut, tersangka bisa dikatakan mengalami Distress Psikologis atau keadaan mental yang negatif sehingga, baik langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kondisi kesehatan mentalnya.

Merujuk teori Bushman (1998), bahwa seseorang yang mengalami Distress Psikologis atau orang-orang yang mengalami keadaan emosi negatif, seperti cemas dan depresi cenderung tidak memercayai orang lain.

Seperti halnya tersangka dalam peristiwa ini, tidak lagi percaya pada orang lain, suka berlawanan, suka menyerang, dan menghukum orang lain.

“Sehingga tersangka cenderung dingin secara emosional, jauh secara interpersonal, dan mengungkapkan permusuhan antagonik,” katanya menjelaskan.

Terkait dengan motif pembunuhan sadis dan kemudian memutilasi, menurut dia, karena tersangka menyimpan dendam yang amat sangat akibat sering direndahkan dan dikucilkan hingga kemudian tersangka merasa hidupnya terkucil.

Seseorang yang mempunyai masa lalu tidak menyenangkan saat masih kecil, juga bisa menjadi penyebab dari peristiwa tragis semacam ini.

Terlebih jika mencermati pengakuan tersangka yang mengaku pernah mendapat tindak kekerasan dari orang tuanya sendiri saat masih kecil, hingga mengakibatkan kondisi fisiknya tidak sempurna.

Hal itu dimungkinkan menjadi simpanan memori yang sangat kuat, sehingga suatu saat apabila terdapat kesempatan bisa melakukan balas dendam.

“Balas dendam ini tentu saja tidak hanya terhdap orangtuanya sendiri, tetapi juga kepada siapa saja yang telah membuat dirinya marah, emosi dan merasa dihinakan,” katanya menegaskan.

Supriyadi juga mengungkap, pada perilaku yang ditunjukkan oleh tersangka mengindikasikan yang bersangkutan mengalami narsisme.

Hal ini ditunjukkan oleh individu tersangka yang merasa mempunyai perasaan harga diri (self-worth) yang terlalu tinggi, tanpa keyakinan yang kuat dalam mendukung perasaan superioritasnya.

Sehingga, dengan mudah dan tanpa beban, akan gampang melakukan tindakan sadis bila yang bersangkutan diprovokasi dan ini menjadi ciri seseorang yang narsisme, seperti kajian Hening (2005).

“Pemilik usaha depo air mineral isi ulang inilah yang dianggap oleh tersangka telah merendahkan dirinya hingga tersangka terprovokasi untuk melakukkan tindakan sadisnya,” kata Supriyadi menegaskan.

Beberapa penelitian, menurut dia, juga menunjukkan bahwa self esteem yang terlalu tinggi dapat menimbulkan agresi.

Individu-individu dengan self esteem yang terlalu tinggi atau tidak stabil, rentan untuk marah dan sangat agresif ketika citra dirinya yang tinggi teraancam.

Individu yang narsistik mempunyai self esteem yang tidak stabil akan menjadi pribadi yang luar biasa sensitif terhadap penghinaan pribadi, seperti cemoohan atau kritik.

Artinya, narsisme ditandai oleh kerentanan terhadap ancaman konsep-diri, dan oleh sebab itu, bila situasi mengancam ego terjadi, individu narsistik cenderung berperilaku agresif.

“Sehingga narsisme berkaitan dengan emosi yang mudah berubah-ubah dan reaksi-reaksi intens, bisa termasuk marah dan mengamuk untuk pelampiasannya, seperti teori Betencourt, Tally, Benjamin, Valentine (2006),” katanya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement