REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar kebijakan luar negeri Dr Rizal Sukma menilai bahwa Republik Indonesia harus menerapkan pendekatan sendiri dalam menangani krisis Myanmar setelah tak ada kemajuan dari Myanmar untuk menerapkan Konsensus Lima Poin.
"Saya kira Indonesia tidak harus bergantung terus-menerus pada ASEAN. Harus ada juga sebuah pendekatan Indonesia seperti saat kita berhadapan dengan Kamboja pada saat itu," kata Rizal dalam diskusi yang ditayangkan di YouTube pada Senin (15/5/2023).
Ia mengingatkan mengenai konflik Kamboja yang terjadi pada 1950-an setelah merdeka dari Prancis pada 1953.
Konflik bersaudara itu telah menyebabkan genosida besar-besaran dan bencana kelaparan yang menewaskan jutaan rakyat.
Konflik di Kamboja makin parah ketika Vietnam mencampuri urusan dalam negeri Kamboja bahkan turut mengendalikan pemerintahan.
Kondisi itu juga menyebabkan banyak pengungsi Kamboja menetap di daerah perbatasan sehingga menimbulkan masalah perbatasan di Indochina.
Namun, Indonesia berhasil mengajak berbagai pihak yang berselisih untuk berkumpul, berdiskusi, dan mencari jalan tengah melalui perundingan Jakarta Informal Meeting (JIM). Konflik Kamboja pun usai ketika para pihak yang bertikai menandatangani Perjanjian Paris pada 23 Oktober 1991.
"(Isu Myanmar) adalah masalah terberat yang pernah dihadapi ASEAN. Indonesia harus mulai melakukan pendekatan sendiri seperti saat kita mengajak Kamboja untuk bersepakat dan menandatangani Perjanjian Paris," ujar Rizal.
Sementara itu, para pemimpin negara anggota ASEAN tetap berpegangan pada Konsensus Lima Poin sebagai acuan utama dalam menangani isu Myanmar. Itu disampaikan dalam pernyataan bersama para pemimpin ASEAN pada KTT ke-42 ASEAN di Labuan Bajo, Rabu (10/5).
Negara-negara anggota ASEAN juga mengeluarkan pernyataan bersama untuk mendukung upaya Indonesia melanjutkan dialog dengan berbagai pemangku kepentingan di Myanmar.
Sementara itu, Presiden RI Joko Widodo mengatakan Indonesia siap berbicara dengan para pemangku kepentingan di Myanmar untuk kepentingan kemanusiaan.
Namun, Presiden Jokowi menegaskan bahwa pendekatan dengan para pemangku kepentingan di Myanmar, bukan berarti ASEAN menoleransi krisis kemanusiaan yang sedang terjadi di Myanmar.