REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Cholil Nafis membolehkan umat untuk memilih pemimpin berdasarkan identitas politik yang melekat padanya. Menurut dia, yang tidak boleh itu adalah menggunakan politik identitas.
Karena itu, dia pun mengimbau kepada para dai dan pengurus masjid untuk dapat membedakan apa yang disebut politik identitas dan identitas politik. Apalagi, saat ini sudah memasuki tahun politik Pemilu 2024.
“Kalau identitas politik itu boleh. Warga masyarakat boleh memilih pemimpin berdasarkan identitas yang melekat kepadanya, apakah karena satu daerah, satu agama, atau satu kepentingan,” kata dia dalam acara silaturahim Komisi Dakwah MUI dengan Dewan Kemakmuran Masjid dan Para Dai se-Jabodetabek di Gedung MUI, Jl Proklamasi 51, Jakarta, Selasa (16/5/2023).
“Yang terpenting tidak memandang orang di luar dirinya itu sebagai musuh atau sampai menghukumi dengan hukum tertentu, misal munafik, kafir dan lain sebagainya. Atau sikap-sikap yang merasa paling bener sendiri,” ujar dia.
Sementara, menurut dia, politik identitas itu dilarang lantaran merupakan sebuah aktivitas politik yang eksklusif. “Kalau politik identitas, ini yang dilarang, karena politik identitas itu sebuah terminolgi tentang aktivitas politik yang eksklusif, yaitu memilih preferensi politik berdasar suku, ras, dan agama dengan memandang preferensi pilihan politik di luar itu salah dan ia cenderung memusuhinya,” kata Kiai Cholil.
Untuk mencegah tersebarluaskannya politik yang dapat memecahbelah, menurut dia, umat perlu upaya bersama pengelola tempat-tempat ibadah untuk berkomitmen tidak menjadikan tempat ibadah sebagai ajang kampanye politik praktis.
Sebaliknya, kata dia, tempat ibadah harus dapat dijadikan sebagai arena pendidikan politik umat sehingga umat memiliki kedewasaan dalam menghadapi perbedaan preferensi politik menjalang pemilu.
“Untuk itu, perlu adanya kesepahaman pengelola tempat ibadah untuk tidak menjadikan tempat ibadah sebagai ajang kampanye politik praktis dan ajang penyebaran politik yang dapat memecah belah umat dan sebaliknya tempat ibadah dapat dijadikan sebagai arena pendidikan politik umat agar umat memiliki kedewasaan dalam menghadapi perbedaan preferensi politik menjalang pemilu,” kata Kiai Cholil.