Selasa 16 May 2023 20:13 WIB

Petani Ungkap Alasan Peremajaan Sawit Selalu tak Capai Target

Kebun sawit yang akan diremajakan diakui oleh KLHK sebagai kawasan hutan.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Ahmad Fikri Noor
Pekerja memindahkan buah sawit yang baru dipanen. Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) mengungkapkan kendala utama yang menjadi biang keladi lambatnya program peremajaan sawit.
Foto: EPA-EFE/DEDI SINUHAJI
Pekerja memindahkan buah sawit yang baru dipanen. Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) mengungkapkan kendala utama yang menjadi biang keladi lambatnya program peremajaan sawit.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) tak pernah mencapai target tahunan sejak pertama kali dimulai pada 2017 lalu. Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) mengungkapkan kendala utama yang menjadi biang keladi lambatnya program peremajaan itu.

Ketua Umum Apkasindo, Gulat Manurung menuturkan, persoalan utama yang menghambat PSR lantaran kebun sawit yang akan diremajakan ternyata diakui oleh Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) sebagai kawasan hutan.

Baca Juga

Ia mencatat, sekitar 84 persen petani sawit yang mengajukan PSR gagal karena kebun yang dikelola masuk dalam kawasan hutan. Padahal, berdasarkan Undang-Undang Cipta Kerja, lanjut Gulat, lahan perkebunan sawit yang sudah ada sebelum 2020 dapat diakui sebagai lahan perkebunan.

"Kemudian undang-undang turunannya mengatakan untuk luasan lima hektare ke bawah dikuasai lima tahun berturut-turut itu langsung dapat HPL (hak pengelolaan). Ini kan cocok dengan replanting. PSR ini tidak merambah hutan tapi meremajakan kebun yang existing (sudah ada) sesuai Undang Undang Cipta Kerja," kata Gulat saat ditemui di Jakarta, Selasa (16/5/2023).

Gulat mengungkapkan, akibat ego sektoral antarkementerian ihwal status lahan tersebut, program PSR seperti jalan di tempat. Petani-petani yang gagal melakukan PSR mau tak mau bertahan dengan tanaman tua yang dimiliki dengan produktivitas rendah.

Sejauh ini, tercatat rata-rata produktivitas sawit nasional hanya berkisar tiga sampai empat ton per hektare. Padahal, Presiden Joko Widodo telah menegaskan secara langsung tanaman sawit milik petani harus diremajakan agar produktivitasnya dapat ditingkatkan.

"Sekarang sudah tidak ada lagi hutan yang ditanami sawit, sudah existing. Sebenarnya yang terjadi adalah (seperti) kawasan hutan masuk ke lahan perkebunan sawit tertanam. Kita sepakat tidak membuka hutan tapi faktanya kami dianggap menguasai kaswasan hutan yang tidak berhutan," ujarnya.

Diketahui, total luasan kawasan hutan Indonesia yang tercatat seluas 128 juta hektare. Adapun luasan kebun sawit nasional mencapai 16,38 juta hektare dan yang sebelumnya masuk ke kawasan hutan seluas 3,4 juta hektare.

Pemerintah melalui Kementerian Pertanian pun membentuk Gugus Tugas untuk melakukan percepatan PSR dan menargetkan peremajaan seluas 123 ribu hektare tahun ini. Gulat menilai, bila ego sektoral masih dipertahankan, ia cukup pesimistis akan terjadi peningkatan peremajaan sawit tahun ini.

Program Peremajaan Sawit Rakyat ditargetkan dapat mencapai 540 ribu hektare kurun waktu 2017-2023 dengan target per tahun setidaknya bisa dicapai 180 ribu hektare.Namun, Kementan mencatat realisasi PSR hingga akhir tahun 2022 baru mencapai 278,2 ribu hektare lantaran realisasi setiap tahunnya yang sangat rendah.

Gulat mengungkapkan, realisasi terendah terdapat pada 2022 lalu di mana hanya 17 ribu hektare. "Tidak akan tercapai (target tahun ini) bila masih ada ego sektoral. Tidak yakin tapi (realisasi) akan lebih tinggi dari 2022, ya mungkin 30 ribu-40 ribu jadilah," ujarnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement