REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gerakan Reformasi 98 yang dilakukan oleh mahasiswa dan rakyat masih menyisakan sejumlah persoalan. Salah satunya terkait dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan oleh aparat saat itu. Untuk itu, pemerintah yang kini dipimpin oleh Presiden Joko Widodo diharapkan dapat menuntaskan persoalan tersebut.
"Terakhir saya dengar presiden melalui Menko Polhukam mengeluarkan satu kebijakan untuk merehabilitasi korban pelanggaran HAM," ujar Sekretaris Jenderal Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) 1995-1998, Nezar Patria, dalam diskusi 25 Tahun Reformasi bertajuk 'Kesaksian Pelaku Sejarah' di Graha Pena 98, Jakarta, Selasa (16/5/2023).
Menurut Nezar, upaya tersebut merupakan kemajuan yang cukup progresif. Di mana, kata dia, korban diakui keberadaannya dan diakui hak-haknya yang harus didapatkan. Dia menilai proses peradilan pengusutan pelanggaran HAM 98 yang dilakukan saat ini sudah berjalan maksimal.
Komnas HAM selaku pihak yang melakukan pengusutan juga telah memberikan rekomendasi kepada DPR, jaksa agung, dan presiden. “Tentu saja proses judisialnya itu berada di dalam track yang berbeda tapi yang paling penting adalah korban yang sudah menunggu selama reformasi ini mendapatkan apa yang menjadi hak mereka,” kata dia.
Terlepas dari itu, salah satu aktivis yang menjadi korban penculikan pada Orde Baru itu mengungkapkan, cita-cita gerakan reformasi 98 sudah dirasakan saat ini. Mulai dari kebebasan berpolitik hingga kebebasan menyampaikan pendapat.
“Saya kira kita mendapatkan space yang cukup besar dibanding hidup di bawah rezim diktator sebelumnya, tidak ada ruang untuk bicara, tidak ada ruang untuk mendirikan parpol. Ini saya kira harta karun reformasilah yang harus dijaga dan generasi yang tumbuh setelah 98 saya rasa menikmati kebebasan yang berlimpah ini,” jelas dia.