REPUBLIKA.CO.ID, BENGALURU -- Gelombang panas yang membakar di beberapa bagian Asia Selatan pada April tahun ini, setidaknya 30 kali lebih mungkin disebabkan oleh perubahan iklim. Temuan ini dikemukakan oleh studi cepat dari para ilmuwan internasional yang tergabung dalam World Weather Attribution.
Suhu hingga 45 derajat Celsius tercatat di stasiun pemantauan di beberapa bagian India, Bangladesh, Thailand, dan Laos bulan lalu. Panas ini menyebabkan kematian, rawat inap yang meluas, jalan yang rusak, memicu kebakaran dan menyebabkan penutupan sekolah di wilayah tersebut.
Suhu tinggi bercampur kelembapan membuat beberapa bagian Thailand terasa di atas 50 derajat Celsius. Beberapa wilayah di India terkena dampak dengan 13 orang meninggal akibat panas dalam acara publik di luar ibu kota bisnis India, Mumbai. Negara bagian Benggala Barat di India timur menutup semua sekolah dan perguruan tinggi selama seminggu.
World Weather Attribution menggunakan model yang sudah mapan untuk menentukan dengan cepat alasan peristiwa cuaca ekstrem muncul. Hasil dari studi cepat itu menemukan bahwa suhu setidaknya dua derajat Celcius lebih panas di wilayah tersebut karena perubahan iklim.
Jika suhu rata-rata global mencapai dua derajat Celsius lebih hangat daripada di akhir 1800-an, gelombang panas April dapat terjadi setiap satu atau dua tahun di India dan Bangladesh. Saat ini, suhu dunia sekitar 1,1 hingga 1,2 derajat Celsius lebih hangat daripada masa pra-industri.
"Kami melihat berkali-kali bahwa perubahan iklim secara dramatis meningkatkan frekuensi dan intensitas gelombang panas, salah satu peristiwa cuaca paling mematikan yang pernah ada,” kata ilmuwan iklim senior di Imperial College London dan salah satu penulis studi tersebut Friedrike Otto, dilansir dari laman The Associated Press.
Rencana aksi panas dijalankan dan didanai pemerintah dan bertujuan untuk membantu orang mengatasi panas ekstrem melalui program kesadaran, pelatihan untuk petugas kesehatan dan metode pendinginan yang terjangkau. Program itu dinilai perlu diterapkan lebih cepat di India dan negara-negara lain yang terkena dampak panas.
"Akses ke perawatan kesehatan dan solusi pendinginan seperti kipas angin dan AC hilang untuk banyak populasi di wilayah ini,” kata Direktur Pusat Penelitian Bencana Kopenhagen di University of Copenhagen, Emmanuel Raju.
Raju menekankan, panas mempengaruhi orang-orang termiskin dan orang-orang yang pekerjaannya mengharuskan berada di luar ruangan. “Penting untuk membicarakan siapa yang bisa mengatasi dan beradaptasi dengan panas,” katanya.
“Banyak yang masih belum pulih dari pandemi, dan dari gelombang panas dan siklon di masa lalu, yang membuat mereka terjebak dalam lingkaran setan," kata Raju.
Menurut berbagai studi iklim global, wilayah Asia Selatan dianggap sebagai yang paling rentan terhadap perubahan iklim di dunia. Namun India, negara terbesar di kawasan ini dan terpadat di dunia saat ini juga merupakan penghasil gas pemanasan planet tertinggi ketiga.
Para ilmuwan mengatakan bahwa tindakan drastis untuk segera mengurangi emisi karbon dioksida adalah satu-satunya solusi. “Gelombang panas akan menjadi lebih umum, suhu akan meningkat lebih banyak lagi dan jumlah hari panas akan meningkat dan menjadi lebih sering," ujar Profesor di Chiang Mai University di Thailand dan rekan penulis studi Chaya Vaddhanaphuti merujuk pada efek gas rumah kaca ke atmosfer terus-menerus.
Vimal Mishra, seorang profesor di Indian Institute of Technology di Gandhinagar yang mempelajari iklim di kawasan itu, mengakui, pentingnya studi yang membantu mengaitkan peristiwa cuaca tertentu dengan perubahan iklim. Namun, dia mengingatkan, lebih banyak tindakan yang perlu diambil.
“Kita harus melampaui atribusi dan berbicara tentang bagaimana perubahan iklim memengaruhi cuaca secara mendasar, dan melihat bagaimana kita dapat mengembangkan ketahanan iklim,” kata Mishra.