REPUBLIKA.CO.ID, QUITO -- Presiden Ekuador membubarkan badan legislatif dalam langkah yang memicu lebih banyak gejolak. Pemerintah konservatif gagal menjalankan agenda ramah bisnis saat negara Amerika Selatan itu mengalami lonjakan angka kejahatan. Presiden Guillermo Lasso menggunakan opsi nuklir kepresidenan di bawah konstitusi untuk membubarkan Majelis Nasional.
Langkah ini untuk mendorong paket pemotongan pajak, tapi ia segera dikritik dan legislatif mengajukan banding untuk menghentikannya beberapa jam setelah ia mengumumkan keputusan ini di pidato yang disiarkan televisi. Dalam pidato Rabu (18/5/2023) tersebut, ia menuduh anggota legislatif fokus untuk "mengganggu stabilitas pemerintah."
"Ini keputusan terbaik," katanya setelah menggambarkan langkah ini cara terbaik untuk memberi rakyat Ekuador "kekuatan untuk memutuskan masa depan mereka di pemilihan yang akan datang".
Angkatan Bersenjata kemudian mengepung Majelis Nasional di Ibukota Quito. Lasso berselisih dengan legislator yang ingin memakzulkannya karena tidak menghentikan kesepakatan antara perusahaan transportasi minyak milik pemerintah dan perusahaan kapal tanker swasta. Ia membantah tuduhan itu.
Beberapa jam setelah Lasso mengumumkan pembubaran legislatif, Ketua Dewan Pemilihan Nasional Dianan Atamaint mengatakan, dalam tujuh hari ke depan kantornya akan menetapkan tanggal pemilihan umum berikutnya. Ia memastikan rakyat Ekuador akan memilih presiden dan anggota Majelis Nasional yang baru tidak lebih 90 hari ke depan.
Petinggi militer Ekuador sudah memperingatkan Angkatan Bersenjata akan menindak segala bentuk kekerasan. Presiden tampaknya mendapat dukungan dari angkatan bersenjata tapi menghadapi perlawanan dari masyarakat adat yang telah melumpuhkan negara itu beberapa tahun terakhir. Ketua masyarakat adat juga mengecam keputusan Lasso.
"(Lasso) meluncurkan kudeta diri yang pengecut dengan bantuan polisi dan angkatan bersenjata, tanpa dukungan masyarakat," kata Ketua Masyarakat Adat, Leonidas Iza Salazar.